Zionisme, tak pernah merupakan monopoli Yahudi semata. Meski belum disebut “Zionisme”, ide mendirikan koloni Yahudi di Palestina supaya orang Yahudi berbondong-bondong ke sana dimulai pada abad ke-17, saat terjadi reformasi Kristen di Inggris.
Sejarah mencatat, kala itu muncul golongan Kristen Puritan yang membaca Injil secara harfiah dan meyakini turunnya Yesus harus dimulai dengan kembalinya umat Yahudi ke Palestina. Tafsiran tersebut, kala itu, justru berkebalikan dengan ajaran Talmud Yahudi bahwa mesias harus turun dulu baru mereka boleh kembali ke Yerusalem.
Bagaimanapun, setelah ratusan tahun kalangan Kristen yang mau kiamat cepat datang ini akhirnya berhasil menularkan idenya kepada sejumlah pemikir Yahudi. Arthur Balfour, yang mengeluarkan surat persetujuan Inggris atas pendirian negara Yahudi di Palestina, datang dari golongan Kristen ini. Lord Montague, seorang Yahudi taat di parlemen Inggris justru menentang deklarasi yang keluar pada 1917 itu. “Saya yakin, Balfour dan Herzl (konseptor Zionisme politik) bukan mesias,” kata dia.
Menurut Noam Chomsky, ini yang jadi alasan Zionisme mendapat dukungan kuat negara-negara koloni Inggris tempat merebaknya fundamentalisme Kristen seperti AS, Kanada, dan Australia. Donald Trump, yang basis pendukungnya adalah Kristen Evangelis AS, tentu akan melanjutkan dukungan ini.
Bagaimana dengan Islam, apakah sepenuhnya anti-Zionis? Tidak juga. Banyak kepala negara mayoritas Muslim, entah karena pertimbangan politik maupun ekonomi, mengakui dan bertransaksi dengan Israel, yang artinya setidaknya memaklumi Zionisme.
Askar H al-Enazy menuliskan dalam “The Creation of Saudi Arabia: Ibn Saud and British Imperial Policy” dinamika soal Zionisme juga punya pengaruh besar. Utamanya dalam pembentukan Kerajaan Saudi Arabia.
Al-Enazy mencatat, pada 1920-an, setelah Timur Tengah lepas dari kekuasaan Utsmaniyah, ada tiga pihak yang merebutkan kekuasaan di Arabia. Diantaranya Hussain bin Ali yang menguasai Hijaz termasuk Makkah dan Madinah, Ibn Rashid al-Ha’il di utara Arabia, dan Ibn Saud di Najd.
Mulanya, Inggris mendukung Husain bin Ali untuk menjadi penguasa baru di wilayah yang sekarang menjadi Saudi Arabia. Persoalannya, Husain bin Ali menolak mati-matian rencana Inggris mendirikan negara Yahudi di Palestina. Mau disuap berapapun, Husain bin Ali bergeming. Demikian juga Ibn Rashid.
Akhirnya, Inggris berpaling ke Ibn Saud yang meski sama-sama menolak menolak namun tak mengimpikan Palestina masuk ke dalam kesatuan Pan-Arabisme. Meski vokal terkait penolakan terhadap pendirian Israel, dalam perang 1948 Ibn Saud tak mengirimkan tentara resmi untuk bergabung dengan negara Arab lainnya berperang melawan Israel. Ia hanya memberikan bantuan dana dan mengizinkan 800 sampai 1.000 relawan ikut berperang.
Jika tak ada "Topan al-Aqsa" pada 7 November 2023, Saudi sudah bersiap menormalisasi hubungan dengan Israel. Langkah yang berarti mengakui Zionisme itu sebelumnya sudah dilakukan sejumlah pemerintahan Muslim seperti Turki, Mesir, Yordania, Bahrain, UEA, Maroko, dan Sudan.
Bagaimanapun, genosida belakangan membawa dinamika baru. Sejarawan Ilan Pappe berargumen bahwa kebrutalan itu adalah awal dari keruntuhan total Zionisme. Mereka-mereka yang berdiri membela dan memaklumi entitas itu bakal ada di sisi yang salah dalam sejarah.
Catat ini, sejarah akan merekam diamnya para pemimpin Muslim atas pembantaian di Gaza. Satu waktu nanti, selain sebagian golongan di Kristen dan Yahudi, mereka akan dicap sebagai kolaborator Zionisme…
(Fitriyan Zamzami)