Daripada bayar Rp17,5 triliun, lebih baik setor Rp60 miliar ke hakim, bukan? deal!

Catatan Agustinus Edy Kristianto: 

Kalau orang lain menganggap kemunculan kasus suap peradilan sebagai momentum untuk membenahi dunia hukum, saya menganggap kemunculan kasus semacam itu hanya sebagai momentum untuk meng-update "harga pasar". (harga suap -red)

Hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply) berlaku dalam urusan hukum di negara ini.

Untuk kasus suap hakim perkara korupsi ekspor CPO (Crude Palm Oil/minyak kelapa sawit mentah yang merupakan salah satu komoditas utama Indonesia), yang saya lihat pertama kali adalah: sumber duitnya dari mana dan berapa?

Total tuntutan jaksa terhadap tiga grup perusahaan besar itu mencapai Rp17,5 triliun, dengan rincian: Wilmar Group Rp11,8 triliun (67,29%), Musim Mas Group Rp4,8 triliun (27,36%), dan Permata Hijau Group Rp937,5 miliar (5,35%).

Total "kemenyan" yang diduga mengalir ke tingkat pertama (PN) adalah Rp60 miliar, yang artinya hanya 0,34% dari total nilai tuntutan.

Daripada bayar Rp17,5 triliun, lebih baik setor Rp60 miliar, bukan?

Deal-nya: lepas dari tuntutan (onslag van rechtvervolging)!

Menurut berita Kompas (15/4/2025), PH (penasihat hukum) perusahaan masuk dari Panitera Muda Perdata PN Jakarta Utara, yang sebelumnya bertugas di Pengadilan Tipikor Jakarta pada PN Jakpus.

PH kenal Panmud (Panitera muda) sewaktu di PN Jakpus itu, lalu mereka masuk ke Wakil Ketua PN Jakpus yang kemudian membentuk majelis hakim perkara.

Setelah "operasi" beres, kelihatannya Waka itu dapat promosi jadi Ketua PN Jaksel—dan akhirnya dibekuk Kejagung.

Di titik ini, saya mencium sesuatu yang agak "amis." Putus perkara lalu mutasi adalah pola. Ndilalah, penciuman saya ternyata sama dengan mantan pejabat Komisi Yudisial yang mengirim saya pesan WA setelah ramai berita penangkapan.

Distribusi Rp60 miliar diduga sebagai berikut: majelis (tiga hakim) Rp22,5 miliar (37,5%), Panmud sebagai penghubung Rp1,1 miliar (1,83%), dan Waka PN Jakpus Rp36,4 miliar (60,67%).

Waka PN adalah penerima terbesar, hampir dua kali lipat dari majelis.

Pertanyaan nakalnya: apakah duit itu dimakan sendiri atau ada setoran ke atas lagi (Medan Merdeka)? Apakah mungkin ada kaitannya dengan logistik untuk promosi jadi Ketua PN Jaksel?

Kita perlu mendesak Badan Pengawas MA dan Komisi Yudisial untuk memeriksa kecurigaan-kecurigaan semacam itu—meskipun saya pesimistis juga.
Dunia hukum kita rusak parah. Mungkin bukan cuma hukumnya, tapi memang Indonesianya yang gelap. Pejabatnya korup, suka disuap.

Kata siapa? Ary Bakri!
Ternyata salah satu PH (penasihat hukum) yang ditangkap itu juga seorang konten kreator. Dalam salah satu konten TikTok, dia mengatakan, jadi pejabat itu seperti air terjun yang muncrat ke atas: duit datang dari mana-mana—dari bawah, dari anak buah, dari luar...

Pejabat tinggal duduk, duit datang sendiri. Makanya jadi ani-ani (perempuan simpanan) pejabat, kata dia, paling top lah!

Memang begitulah kondisinya. Sulit dibantah.

Justru yang aneh adalah kalau ada seorang presiden yang sedih karena menterinya belum digaji enam bulan alias kerja bakti—padahal para menterinya itu bisa kaya kalau tidak masuk ke pemerintahan.

Kelihatannya masalah kepemimpinan pemerintahan saat ini, selain nalar, emosi, dan komunikasi para pejabatnya, juga bertambah satu masalah lagi: empati yang aneh dan salah sasaran!

Jadi pejabat adalah pangkal kaya. Mohon diingat ucapan Pak Prabowo ketika masa kampanye, bahwa selama 20 tahun terakhir tidak masuk kekuasaan, asetnya banyak yang mandek karena ia tidak dapat kredit dari bank.

Maka, kalau mau aset tidak mandek, kredit disetujui bank, bisnis besar—jadilah pejabat. Masuklah pemerintahan!

Gitu, kok, dibilang kerja bakti.

Salam,

AEK
Baca juga :