[PORTAL-ISLAM.ID] Hasan Nasbi itu dulu salah satu buzzer pendukung Jokowi dan benci sama Prabowo, dulu punya akun X (twitter) pakai nama Tukang Sayur @datuakrajoangek.
Setelah diangkat sebagai Kepala Komunikasi Kepresidenan, dia hapus akun twitternya yang lama 'Tukang Sayur' @datuakrajoangek untuk menghilangkan jejak digitalnya.
Lalu ganti akun baru Hasan Nasbi @NasbiHasan.
Tapi jejak digitalnya sudah banyak discreenshot netizen sebagai barbuk.
Coba lihat twit-twitnya sekarang, bahkan yang terbaru mengomentari tentang RUU TNI, gaya bahasanya masih gaya bahasa Buzzer, bukan gaya bahasa kenegarawanan.
Dari era Jokowi sampai Prabowo yang menjadi jubir istana gak berubah, semua gaya Buzzer. Dulu Ngabalin, sekarang Hasan Nasbi.
Sampai dikomentari politikus Demokrat Rachland Nashidik.
""Provokasi" dan "narasi bohong" bukan sebutan yang tepat atau apalagi pantas terhadap ekspresi kritisisme publik. Lagipula kritisisme publik, betapapun gaduhnya, adalah petanda demokrasi sedang bekerja," ujar @rachlannashidik.
Begitulah kalau Pemerintah mengakomodir buzzer.
Sangat disayangkan sebetulnya pemerintah Prabowo masih sama saja dengan Jokowi.
Coba jubir Istana model Yusril Ihza Mahendra, tentu perdebatan publik akan beda suasananya. Akan jadi suasana adu argumen yang cerdas, bukan gaya buzzer provokator pemecah belah.
👇👇
Kejauhan lu mau sok2an menilai orang skrg gue tanya , lu udah selesai bayangin @prabowo NGEWE ??🤣🤣 pic.twitter.com/7wwlNPWL0T
— Rama Adam Faathir 🇮🇩 (@RamaAdamfaathir) March 17, 2025
Kalian yang brengsek main dengan cara jahat di bulan ramadhan. https://t.co/dS78Zwwft8
— Bareng Warga - #IndonesiaGelap (@barengwarga) March 17, 2025
Kalau ruang diskusi dan kritik terhadap kebijakan langsung dilabeli sebagai provokasi dan narasi bohong, lalu diikuti dengan tuntutan minta maaf, ini bisa jadi tanda bahwa pemerintah lebih sibuk mengontrol opini daripada menjawab substansi kritik.
— Rizal Muhammad Zulfaqor 🙎♂️ (@KhwarizxHayth) March 17, 2025
RUU TNI adalah isu besar yang…
"Provokasi" dan "narasi bohong" bukan sebutan yang tepat atau apalagi pantas terhadap ekspresi kritisisme publik. Lagipula kritisisme publik, betapapun gaduhnya, adalah petanda demokrasi sedang bekerja. https://t.co/g0FOzcqFdV
— Rachland Nashidik (@rachlannashidik) March 17, 2025