Teror yang dialami Tempo bertujuan menciptakan ketakutan serta tekanan fisik, psikologis, sekaligus simbolik.
Isi paket teror: kepala babi busuk tanpa kuping dan tikus-tikus dengan kepala terpenggal.
Tak ada pesan verbal dari pengirim. Hanya binatang, darah, dan kematian—berbungkus kertas berkelir bunga mawar pada paket tikus.
Kelihatannya, pengirim mau bilang ke Tempo: diam. Jangan banyak omong!
Meskipun—bagi saya—ada juga pesan penghinaan kepada Tempo di balik kiriman paket itu.
Saya jadi ingat Kaisar Romawi bernama Hadrianus.
Setelah menumpas pemberontakan Simon Bar Kokhba (132–135), ia menggunakan kepala babi sebagai simbol penghinaan terhadap orang Yahudi.
Ia tahu babi adalah hewan yang sangat dinajiskan dalam kepercayaan Yudaisme menurut hukum kosher, maka ia gunakan babi sebagai bagian dari ritual penyembahan Dewa Yupiter yang ia paksakan kepada orang Yahudi.
Sesudah penghinaan itu, ia mengubah nama Yerusalem menjadi Aelia Capitolina untuk sekaligus menghapus identitas bangsa Yahudi dari muka bumi.
Tapi Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan (PCO) Hasan Nasbi tampaknya tak berpikir sejauh itu.
Ia terkesan menyepelekan barang ini, menganggapnya sebagai candaan ala Gen Z semata. Ia malah menyarankan kepala babi itu dimasak saja.
Sementara itu, ramai berkembang narasi bahwa kiriman kepala babi adalah operasi false flag yang tujuannya menyalahkan orang yang tidak berbuat.
Pendeknya, mau dibilang: bukan orang pemerintah yang mengirim kepala babi itu.
Paket itu bukan 'perwujudan material' makian "ndasmu."
Tempo pun bikin laporan polisi (LP). Tapi saya pikir, LP itu bakal kandas!
Hukum formal akan cerewet bertanya: apa deliknya, apa peristiwa pidananya, apa unsurnya, apa alat buktinya ... melalui proses hukum yang panjang, kompleks—dan gelap: penyelidikan, penyidikan, persidangan, eksekusi.
Belum lagi jika kita mengandaikan bahwa dalam sebuah teror yang sempurna sudah terkandung di dalamnya kambing hitam untuk dipersalahkan.
Habitat teror sesungguhnya berada di wilayah emosi dan nalar yang abstrak.
Hukum sering kali sulit menembus berlapis-lapis dinding pelindungnya, terutama ketika ditegakkan tanpa kehendak yang sungguh-sungguh untuk keadilan. Autor intelektualis, atau sang mastermind, biasanya sulit terungkap.
Maka, gagasan Hasan untuk memasak kepala babi itu mungkin menjadi sesuatu yang 'relevan.'
Saya pikir, jika hukum tumpul di hadapan teror, memang ada baiknya kepala babi busuk itu dikirim saja ke kantor Hasan dengan permintaan agar penerimanya berkenan mengirimkan balik kepada Tempo kepala babi yang segar untuk dibuatkan masakan olahan yang enak.
Kirimkan masakan itu ke Cica, jangan ke saya. Sebab, meskipun saya juga Katolik, saya tidak doyan babi. Saya—sama dengan para pejabat pemerintahan atau pengurus BUMN—lebih suka duit. Bukan babi.
Saya harap kasus Tempo jadi momentum bagus agar masyarakat sadar dan bersatu melawan segala jenis teror.
Kebenaran adalah antitesis teror, maka menyuarakannya terus-menerus adalah wujud perlawanan terhadap teror yang sesungguhnya.
Jangan pernah Tempo berhenti menyuarakan kebenaran itu.
Apalagi teror akan terus berevolusi. Ia bersalin rupa, menyaru dalam beragam wujud. Tak melulu lewat medium kekerasan dan pengiriman bangkai.
Ingat saja, di balik buku tulis, susu, beras, minyak goreng, makan gratis ... yang dibagikan elite politik, terkandung di dalamnya 'teror' yang juga menekan masyarakat untuk membalasnya kelak di bilik pencoblosan.
Saya amati, sejak detik pertama rezim sekarang berkuasa, Wapres Gibran adalah salah satu contoh pejabat yang melakukan 'teror' semacam itu dengan konsisten—terutama ke kantong-kantong calon pemilih pemula.
Makanya, selain teror babi, waspadai pula teror fufufafa, sebab tujuannya sama: menciptakan ilusi dan menumpulkan akal sehat bangsa.
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)