Selama 10 tahun SBY menjabat, PDIP bisa dikatakan menjadi satu-satunya parpol yang memutuskan untuk berada di luar pemerintahan.
Selama 10 tahun itu PDIP benar-benar menjadi partai yang sangat vokal dan cenderung brutal dalam mengkritik bahkan menghujat hampir setiap kebijakan SBY. Selain mengkritik di media massa dan media sosial, PDIP juga rajin mengajak simpatisannya turun ke jalan, mendemo apa saja yang bisa mereka demo.
Bahkan ada salah demo PDIP itu menjadi demo yang fenomenal ketika mereka menulis nama dan menempelkan foto SBY pada seekor kerbau untuk menyimbolkan betapa lamban dan bodohnya pemerintahan saat itu.
Tapi hampir semua rakyat senang dan mendukung sikap PDIP, termasuk mereka yang memilih SBY dan Demokrat.
Rakyat menyadari bahwa pemerintah dengan kekuasaannya yang sangat besar itu harus diawasi. Memang banyak juga yang menggerutu. Tapi bukan karena kritiknya. Lebih karena efek ketidaknyamanan akibat terlalu seringnya PDIP mengajak simpatisannya turun ke jalan.
Saat itu fanatisme terhadap politikus memang belum ada. Bucin-bucin (Buzzer) belum lahir.
Apakah akibat kebrutalan kritik PDIP itu membuat pemerintahan SBY goyah?
Ternyata tidak. Akibat terus diawasi, SBY justru semakin hati-hati dan penuh pertimbangan dalam membuat kebijakan dan keputusan. Wong bener saja dihujat apalagi salah.
Tapi akibat bekerjanya mesin pengawas pemerintah, rakyat juga yang dapat manfaat.
Pedapatan Domestik Bruto (PDB) naik pesat hampir 5 kali lipat dari 2.300 triliun menjadi 10.500 triliun (kurs Rp 11.000 per USD).
Utang pemerintah memang naik hampir 100% (dari 1.300 triliun rupiah menjadi 2600 triliun rupiah), tapi rasionya turun dari 57% menjadi 24%. Artinya kemampuan pemerintah untuk membayar utang menjadi lebih kuat.
Utang ke IMF lunas.
Cadangan devisa naik signifikan, dari USD 35,90 miliar menjadi USD 111,9 miliar. Lebih dari 3 kali lipat.
KPK menjadi lembaga pemberantas korupsi yang sangat ditakuti koruptor dan dicintai rakyat.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata 6% pertahun.
Inflasi memang tinggi. Rata-rata 7% per tahun. Tapi bisa dimaklumi, karena daya beli masyarakat saat itu sangat tinggi. Akibat pertumbuhan ekonomi yang sangat baik, masyarakat jadi sangat konsumtif. Ekonomi bergerak.
Malapeta Mulyono
Lalu kegilaan itu muncul. Seseorang yang diasosiasikan sebagai tokoh 'Sederhana dan Merakyat' tampil ke panggung politik tertinggi Indonesia. Penyakit fanatisme buta mulai menjangkiti sebagian besar rakyat Indonesia.
Situasi ini diperparah dengan masuknya PDIP dalam pemerintahan. Tidak ada lagi parpol 'gila' yang berani mengkritik penguasa.
Pemerintahan baru yang dipimpin Jokowi nyaris tanpa kontrol.
Tidak cukup sampai di situ. Buzzer-buzzer baik yang gratisan hingga bayaran bermunculan, siap menghajar siapapun yang berani mengkritik penguasa baru.
Efek dari kekuasaan yang hampir mutlak itu bisa kita rasakan sekarang.
Utang pemerintah naik gila-gilaan, lebih dari 3 kali lipat, sementara PDB hanya naik 80%.
Akibatnya, rasio utang kita juga naik memasuki ambang batas yang mengkhawatirkan.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata hanya 5%. Itu pun karena dikatrol utang luar negeri dan obral sumber daya alam yang ugal-ugalan.
Pondasi ekonomi yang merapuh itu tidak seberapa.
Kerusakan yang lebih besar sudah berdiri di depan mata kita: Moral bangsa rusak parah. Etika berpolitik sudah di titik terendah. Pejabat bejat dan penjilat di mana-mana. Hukum dipermainkan sedemikian rupa. Banyak aparat penegak hukum justru jadi pelanggar hukum. Korupsi gila-gilaan. Mainnya bukan lagi miliaran tapi sudah ratusan triliun.
Sementara yang bikin rusak malah didewakan. Ini benar-benar gila!
Lalu bagaimana dengan penerusnya?
Ya sama saja. Namanya juga melanjutkan. Coba saja kritik pemerintah. Pasti banyak yang akan menggonggongi.
(By Wendra Setiawan)