Ada sebuah desa. Dengan penduduk sekitar 280 kepala keluarga (KK). Aduh, desa ini malang sekali nasibnya.
Di sana itu, perangkat desa korupsi sudah biasa. Terang-benderang. Warung2 di desa itu nipu juga sdh biasa. Jual beras 1kg, pas ditimbang hanya 800gram. Jual buah duku ngakunya 100% duku palembang, eh dia oplos dgn duku yg masam.
Sekolah di desa itu juga biasa menerima siswa titipan, nyuap, ngakalin dokumen2. Belum lagi satpam desa; aduh, ada yg pedofil, saling tembak sesama satpam, narkoba, dll. Aduh, belum lagi bicara pajak. Ujung ke ujung penduduk dipajaki, yg lebih kejam dibanding upeti zaman kerajaan dulu.
Separuh lebih penduduk desa hidup serba kekurangan. Sementara tokoh2 desa yg kaya raya; mereka biasa mengotak-atik peraturan agar sesuai dgn kelompoknya. Tdk cocok dgn kepentingan mereka, ubah peraturannya. Jika ada yg mau menyaingi kelompok mereka, ubah lagi peraturannya agar pesaingnya tersingkir. Tokoh2 desa dan keluarganya makmur sejahtera, bisa jalan2, pakai fasilitas duit pajak penduduk.
Hukum tdk ditegakkan. Penduduk desa sibuk main pinjol, judol, miras, semua yg jelas2 dilarang agama. Belum lagi kualitas pendidikan, kehidupan bebas, dll.
Aduh, malang sekali nasib desa ini.
Tapi sssst, jangan ghibah. Jangan ngomongin pak kades dan perangkat desa di sana. Itu haram. Apalagi saat bulan suci Ramadhan.
Ssst, jika yg kamu omongkan itu tdk benar, kamu fitnah. Jika benar, kamu ghibah. Ayo, ingatlah firman Tuhan, dosa ghibah itu luar biasa.
Demikianlah nasib di desa itu. Saat penduduknya yg sebenarnya shalat jarang, ngaji hanya baca huruf latin, bayar zakat mal? tdk pernah seumur hidup; tapi kalau ada yg mencoba memperbaiki situasi, mereka sibuk komen: Sssst, jangan ghibahin pak kades dan perangkatnya. Itu dosa besar. Sambil dia sendiri sibuk klik2 buka berita artis kawin cerai, aib keluarga pesohor, postingan pamer ini-itu, dll.
(TERE LIYE)