Rapat di Hotel, Bakar Saja Gedung DPR

Rapat di Hotel

Sekira 25 tahun lalu, kami kebetulan pernah kerja di hotel. Standarnya kalau menurut PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) bintang 4, kalau menurut kementerian pariwisata bintang 3.

Tak lama, kami bekerja hanya 2 tahun saja. Gajinya cukuplah untuk bayar cicilan motor saat itu. Terima gaji sebulan, sisa 20 ribu rupiah saja setelah bayar angsuran.

Lalu dengan apa kami beli BBM dan maintenance kendaraan? Dengan berbagai aktifitas. Mulai dari ngepul sampah rongsokan, ceramah keliling bila ada permintaan pengajian dan wiridan, atau yang memang rutin kami lakukan adalah terima orderan pembuatan makalah, tugas akhir, skripsi, desertasi dan bahkan tesis.

Untuk desertasi dan tesis biasanya yang kami bantu hanya pada bab penelitian lapangannya saja, jika calon magister ataupun doktor melakukan field research, semisal mengumpulkan instrumen/aplikasi hasil wawancara, survei, foto, gambar dan segala sesuatu yang berhubungan dengan field.

Sudah puluhan atau kalau tak salah ingat ratusan calon sarjana yang kami bantu. Untungnya ketika kami berupaya untuk tamat kuliah, skripsi kami justeru orang lain pula yang bantu menyelesaikan penyempurnaan datanya termasuk pembimbing yang menuliskan dan langsung editin beberapa paragraf penting. Lulus dan tamat. Haaaahaaaaa

Kembali ke rapat hotel.

Rapat-rapat di hotel memang sudah menjadi aktifitas hampir semua instansi pemerintah. Ini sudah rahasia umum. Dengan berbagai dalih dan alasan. Mulai dari alasan supaya praktis dari segi pengakomodasian tetapi lebih kepada supaya bisa lebih santai.

Tak heran jika media luar negeri menulis komentar dari pengamat yang merupakan seorang Executive headhunter atau HR consultant bernama Leigh McKiernon yang memberikan kritik pedas pada cara kerja masyarakat Indonesia.

Leigh McKiernon sendiri sudah bekerja di Indonesia selama 6 tahun dan memperhatikan cara kerja masyarakat Indonesia. Menurut Leigh McKiernon orang Indonesia terlihat sibuk namun sebenarnya tidak bekerja.
Seiring dengan kritik McKiernon itu sebelumnya Pak Wowo juga sudah mengingatkan bahwa perlu adanya efisiensi, kurangi jalan-jalan, studi banding, seminar-seminar atau apapun itu namanya yang secara kinerja tidak efektif dan tidak berimplikasi apapun terhadap program pemerintahannya. Saya instruksikan, pangkas! Demikian kata Pak Wowo.
Tapi untuk rapat kali ini, membahas UU TNI agar bisa menguasai ranah jabatan sipil di berbagai bidang, ada pengecualian. Rapatnya boleh di hotel mewah yang harga per pack/night nya dikisaran Rp. 5 jutaan rupiah lah kalau di cek di aplikasi penjualan tiket. Murah.

Rapat-rapat itu ada uang sakunya lagi, ada SPPD nya lagi, ada uang transportasi nya juga ditambah akomodasinya (makan-minum) lagi.

Padahal sudah dikasih makan itu di hotel dengan booking lengkapnya. Padahal pakai kendaraan dinas yang BBM nya sudah ditanggung kas negara itu mobilnya. Padahal sudah digaji bulanan itu kerjanya. Padahal sudah ada aula, gedung khusus, ruang rapat khusus, ballroom khusus itu di gedung dan kantor tempat tugasnya.

Padahal... padahal....padahal...

Jadi efisiensi itu, jika tidak ada landasan hukumnya, hanya akan menjadi teori omon-omon saja.

Karena sepintar-pintarnya omon-omon, jauh lebih pintar para calon koruptor mencari celah, dimana supaya ada pemasukan tambahannya.

Rapat buang-buang air ludah omon sana omon sini itu, capek loh bro. Lebih capek lagi karena harus mikir gimana supaya SPPD nya bisa lebih besar dan nominalnya banyak serta fasilitasnya lengkap. Supaya gaji dan tunjangan bulanan, bisa disimpan utuh buat beli skinker bini di rumah. Realistis saja.

Sistem pemerintahan itu memang yang sudah korup. Hukumnya betul yang memang sudah korup. Mau dikata sebaik apapun orangnya, pengelola negara nya, kalau sistemnya yang korup, bakal korupsi juga akhirnya.

Walaupun nanti setelah diaudit BPK- KPK dikatakan kelebihan bayar, tidak sesuai mata anggaran, dana yang digunakan tidak sesuai peruntukannya.

Sebagai tokoh anti korupsi, Anies Baswedan mengidentifikasi, bahwa korupsi itu ada 3 sebab; 1. karena butuh, 2. karena serakah, 3. karena sistem.

Untuk sebab yang pertama dan kedua, mudah penanganannya. Tinggal diverifikasi, lalu dihukum atau dimaafkan seperti keinginan Prabowo mau memaafkan koruptor.

Persoalan mendasar nya adalah pada sebab yang ketiga, yaitu corruption by system.

Mau anda pakai sorban, jubah dan jenggot serta hafal Al-Qur'an 40 Juz juga seperti kata Puan Maharani, tidak akan bisa lepas dari jebakan sistem korup itu.

Maka untuk penanganannya, hanya butuh satu cara, yaitu menanamkan semangat bahwa pentingnya sense dan etikabilitas bagi para pengelola negara.

Tapi itu kan juga teori. Prakteknya susah. Tidak susah bila pemimpinnya punya semangat untuk melaksanakan revolusi pemikiran.

Di lingkungan istana dan gedung parlemen itu ada masjid, aula nya juga besar, ruang rapatnya juga mewah, atau di gereja didekatnya, juga memiliki fasilitas yang tak kalah mewahnya. Buat rapat disana. Praktis dan murah.

Nanti biar jama'ah masjid atau jema'at gereja yang iuran dan goro masak buat mereka makan. Dengan satu syarat dan kesimpulan kalian fikirkan betul-betul lah dalam rapat itu kepentingan rakyat, negara dan bangsa.

Tetapi kan tidak bisa dilakukan dan tidak ada kemungkinan begitu rapatnya.

Makanya muncullah saran dan ide dari rakyat. Kalau begitu, mari kita hancurkan dan bakar saja gedungnya. Karena selain boros biaya perawatan dan maintenance nya, juga keenakan para biawak yang cuma buang taik di dalamnya.

Sebab di gedung-gedung pemerintahan itu yang paling berguna cuma toiletnya. Bukan ruang-ruang sidang dan rapat-rapatnya.

Bukan begitu?

Salam Fufufafa

(Budi Akbar)

Baca juga :