PSSI Tunggangan Erick Thohir menuju Pilpres 2029, Kandas di Tengah Jalan

Catatan Agustinus Edy Kristianto:

Kalah-menang biasa dalam sepakbola. Saya tak hendak menganalisis secara teknis dan taktikal mengapa kalahnya sampai 1-5. Biarlah itu urusan para pundit—meskipun penilaian saya pribadi, timnas bermain buruk dan sangat tidak menghibur!

Permainan yang bagus dan pertandingan yang menghibur adalah mahkotanya olahraga—tak cuma sepakbola.

Di situlah tergambar olahraga sebagai wujud ekspresi kemanusiaan yang sesungguhnya: sportivitas, kerja keras, ketulusan jiwa, kerendahan hati, pengendalian diri, tahu batas, dan respek...

Pandangan saya sejauh ini adalah Erick Thohir (ET) menjadikan timnas tidak sepenuhnya mencerminkan ekspresi mahkota olahraga itu.

Kegilaan masyarakat terhadap timnas seolah dijadikan komoditas yang dipakai sebagai mata uang dalam perdagangan pengaruh yang ia pertukarkan di lapangan bisnis dan politik.

Adalah kontradiksi jika di satu sisi menyatakan semua butuh proses, tapi di sisi lain menggencarkan naturalisasi menjelang pertandingan kualifikasi.

Jujur saja, itu bukan menghargai proses namanya, sebab intensi sesungguhnya adalah lolos Piala Dunia 2026 pakai jalur naturalisasi selagi ada peluang.

Lolos Piala Dunia 2026 adalah kesuksesan olahraga yang akan melambungkan valuasi bisnis PSSI dan panggung populisme yang kuat menuju Pemilu 2029 bagi ET dan kawan-kawan.

Di dunia ini—CMIIW—cuma ada satu orang yang memiliki tiga jabatan strategis sekaligus: Menteri BUMNKetua Umum Federasi Sepakbola, dan Ketua Dewan Pengawas Danantara.

Kekuasaan mungkin adalah konsep yang abstrak, tapi uang bisa menggambarkan betapa berlebihannya kekuasaan di tangan satu ET.

Ia memegang kendali atas Rp10.950 triliun aset konsolidasi BUMN Indonesia (2024), USD900 miliar (Rp14.400 triliun) aset dalam pengelolaan Danantara, dan setidaknya Rp3 triliun/tahun nilai potensial bisnis sepakbola/timnas (sponsorship & partnership, hak siar & media rights, merchandise & licensing, tiket & hospitality, bonus turnamen, digital & social media, dan lain-lain).
Bahkan ia juga tercatat sebagai pendiri dan pemegang saham PT Mahaka Media Tbk (ABBA), emiten yang bisnis utamanya adalah media dan agensi—berstatus notasi khusus karena sampai 2024, ekuitasnya negatif!

Sheikh Mansour bin Zayed Al Nahyan, Menteri Urusan Kepresidenan Uni Emirat Arab yang juga pemilik Manchester City, saja tahu diri tak perlu merangkap sebagai ketua federasi sepakbola UEA.

Begitu pun Emir Qatar, pemilik Paris Saint-Germain (PSG) melalui Qatar Sports Investment (QSI), tidak juga "serakah" merangkap ketua Qatar Investment Authority (SWF-nya Qatar).

China Investment Corporation (SWF Tiongkok) berinvestasi di sepakbola, begitu pula BUMN China seperti Wanda Group dan Evergrande. Tapi tak ada satu pun pejabat China yang mengendalikan tiga sektor sekaligus seperti ET.

Jadi ET adalah kasus relatif "langka" di dunia. Langka—maaf—serakahnya!

Tapi ada yang bilang ke saya, ET butuh tiga jabatan itu supaya mempermudah koordinasi. Kasarnya, kalau dia Menteri BUMN, mudah menyuruh bank-bank menjadi sponsor liga.

Jika dia pejabat Danantara, mudah mengalihkan investasi ke sepakbola. Mudah pula berhubungan dengan Presiden karena jabatan menteri adalah pembantunya.

Kalau sudah di-backup presiden, mudah minta "donasi" ke pengusaha---meskipun ada yang mengeluh dimintai "donasi" kelewat banyak.

Jika alasan rangkap jabatan ET benar demikian, maka akar masalahnya adalah pengelolaan sepakbola nasional yang masih perlu dibenahi agar memiliki nilai jual bisnis yang layak tanpa perlu "intervensi" pejabat birokrasi dan politisi sekelas menteri atau presiden.

Jadi apa intinya?

Jangan letakkan harapan dan mimpi bangsa ini kepada satu tangan. Negara ini didirikan sama-sama, dibangun pun harus sama-sama.

ET sebaiknya mundur dari jabatan-jabatan rangkap strategis itu. Tidak baik untuk good governance, tidak baik untuk demokrasi politik, dan tidak baik pula bagi masa depan sepakbola nasional.

Pilih salah satu: di pemerintahan atau sepakbola, agar jelas pertanggungjawaban publiknya.

Atau mungkin kembali ke Mahaka saja, supaya perusahaannya tak lagi bermodal negatif?

Sepakbola adalah olahraga yang indah. Bangunlah dengan cara yang wajar dan bermartabat.

Jangan dirusak dengan sinetron bisnis politik yang menjual ilusi kecintaan terhadap garuda merah-putih.

Kami tahu, soal 'seni peran' dan menyembunyikan rasa malu, Anda jagonya.

Salam,

(AEK)

*fb
Baca juga :