HEBAT PRABOWO: BARU DUA BULAN APBN DEFISIT Rp. 31,2 T & UTANG BARU Rp. 224,3 T
Baru dua bulan pertama 2025 (Januari-Februari) APBN defisit Rp 32,1 triliun. Miris. Kondisi yg tidak biasa. Menyerupai kerentanan keuangan di era krisis ekonomi akibat pandemi covid di 2021.
Padahal pada periode yg sama di tahun lalu, APBN tercatat surplus Rp 22,8 triliun. Menunjukan, tatakelola APBN rezim Prabwo di tahun pertama memerintah, jauh lebih buruk dibanding pemerintahan Jokowi.
Defisit yg begitu besar, menunjukan tim ekonomi dan keuangan prabowo sukses mengantarkan ketahanan fiskal terperosok ke dalam jurang kerentanan. Menggambarkan rapuhnya perencanaan dan strategi pengelolaan APBN pemerintahan Prabowo yg berjalan salah arah.
Menteri keuangan "terbalik", Sri Mulyani menyatakan, defisit yg begitu besar, disebabkan penurunan penerimaan negara (Januari-Februari) yg hanya mencapai Rp 316,9 triliun. Sementara realisasi belanja mencapai Rp 348,1 triliun. Ada selisih kurang sebesar Rp 32,1 triliun.
Rendahnya penerimaan negara, menunjukan upaya rezim Prabowo menggenjot penerimaan jauh lebih buruk dari pemerintahan Jokowi yg pada periode tersebut di tahun 2024 lebih tinggi Rp 400,36 triliun.
Rendahnya penerimaan negara, disebabkan karena merosotnya penerimaan di sektor perpajakan (Januari-Februari) yg hanya mencapai Rp 187,8 triliun. Anjlok 30,01% dibanding penerimaan pajak pada periode yg sama di tahun lalu Rp 269,02 triliun.
Kenyataan tersebut, menampar keras muka pemerintahan Prabowo. Bahwa ambisi menaikan PPN 12%, telah menunjukan hasilnya: berupa merosotnya penerimaan negara dari pajak.
Data APBN kita merinci, bahwa Pajak Pertambahan Nilai Dalam Negeri (PPN DN) menjadi kontributor teebesar yg mendorong menurunnya penerimaan pajak. Pada periode Januari 2025, penerimaan PPN DN mines 92,75% atau hanya terealisasi sebesar Rp 2,58 triliun.
Padahal pada periode yg sama di tahun 2024, PPN DN tumbuh positif 23,9% atau Rp 35,6 triliun.
Artinya ambisi menaikan PPN DN jadi 12%, secara langsung melemahkan dan menurunkan penerimaan PPN DN dari Rp 35,6 triliun di 2024 menjadi hanya Rp 2,85 triliun.
Hanya dalam kurun setahun, pendapatan PPN DN sukses lenyap sebesar Rp 35,6 triliun - Rp 2,85 triliun = Rp 32,7 triliun. Itulah besaran besaran kehilangan pendapatan PPN DN akibat kebinjakam konyol pemerintah Prabowo naikan PPN DN jadi 12%.
Penurunan PPN DN selanjutnya menjadi faktor terbesar yg mendorong penurunan penerimaan pajak secara keseluruhan. Tidak mampu mengimbangi total belanja. Sehingga mengakibatkan defisit APBN Rp 32,1 triliun.
Coba tengok besaran defisit APBN Rp 32,1 trikiun, sama persis dengan penurunan PPN DN Rp 32,7 triliun. Menguatkan keyakinan, bahwa salah satu faktor terbesar defisit APBN disebabkan karena penurunan PPN DN akibat kebijakan konyol naikan PPN 12%.
Inilah yg sejak awal dikritisi banyak kalangan. Kenaikan PPN dari 11% jadi 12%, memang hanya naik 1%. Rendah sekali.
Pada saat menaikan PPN, pemerintah berdalih, bahwa kenaikan yg serendah itu juga dilakukan pemerintah untuk kepentingan masyarakat Indonesia.
Bahkan disebutkan Kenaikan PPN akan menambah kemampuan APBN untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, menciptakan perkembangan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Kesejahteraan masyarakat kepala bapak kau !!!
Kini terbukti, apa yg disebut pemerintah menyerupai Kalimat pembelaan yg naif, irasional, melanggar batas moral, ilmu, keadilan, kenyataan dan inkonstitusional !!!
(Faisal Lohy)