Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Saya kurang suka menggunakan argumen latar belakang akademik dan profesional untuk mengkritik penunjukan orang yang katanya pendengung/buzzer (Rudi Sutanto/Rudi Valinka/Kurawa) sebagai Staf Khusus Bidang Komunikasi Strategis Menteri Komunikasi dan Digital (Menkomdigi) Meutya Hafid.
Saya juga tidak seekstrem Direktur SAFEnet, Nenden Sekar Arum, yang mengatakan bahwa ketika pendengung (buzzer) menjadi staf khusus menteri, "biasanya mereka melakukan propaganda dan polarisasi di media sosial" (Koran Tempo, 16 Januari 2025).
Jangan kecilkan buzzer, sebab saat ini buzzer adalah profesi terhormat. Kepala negara dan kepala pemerintahan (presiden) yang pernah menjabat dua periode pun ujungnya menjadi buzzer salah satu brand minimarket di IG Story-nya.
Orang-orang yang menduduki posisi staf ahli atau staf khusus, meski memiliki latar belakang akademik dan profesional yang sesuai—bahkan lulusan universitas terkemuka di luar negeri—pada akhirnya banyak juga yang mengandalkan cara-cara buzzer. Seperti kata SAFEnet, mereka biasa melakukan propaganda dan polarisasi---terutama seperti yang saya amati selama 10 tahun pemerintahan Mulyono.
Jika benar Kurawa adalah buzzer yang menjadi staf khusus, maka semakin melambunglah keharuman profesi buzzer sebagai profesi mulia (officium nobile), sebagaimana sebutan untuk profesi advokat. Bahkan, bisa jadi buzzer lebih unggul dari advokat karena mereka, seperti Kurawa, diakui oleh negara serta mendapatkan gaji pokok dan tunjangan kinerja (tukin) dari APBN berdasarkan Perpres 3/2020.
Jika buzzer sudah sampai mendapatkan tukin, nikmat Tuhan manakah yang kamu dustakan?
Bukan tidak mungkin, ke depan negara ini perlu memikirkan format baru pembagian kekuasaan politik. Biasanya trias politika (eksekutif, legislatif, yudikatif), tetapi kelak mungkin menjadi tetrarki/quadriarchy (empat cabang kekuasaan) karena adanya tambahan cabang kekuasaan buzzer. Negara juga perlu lebih jelas dan tegas mengatur dalam undang-undang asal-usul kalangan yang menduduki jabatan di setiap cabang kekuasaan, semacam aturan di Lebanon, di mana jabatan Presiden dipegang oleh Kristen Maronit, Perdana Menteri oleh Muslim Sunni, dan Ketua Parlemen oleh Muslim Syiah.
Berkaca dari pengangkatan buzzer Kurawa sebagai staf khusus, ini bisa dijadikan preseden. Misalnya, dua dari lima slot jabatan staf khusus menteri diisi oleh kalangan buzzer—diutamakan yang berpengalaman di tim buzzer Mulyono karena terbukti ampuh membius masyarakat. Satu slot staf khusus menteri bisa diberikan kepada perwakilan partai politik presiden terpilih, dengan tugas memata-matai staf khusus atau staf ahli lainnya, misalnya.
Kita harus mulai berpikir pengelolaan negara dengan jujur, tanpa kemunafikan atau drama berlebihan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa jabatan staf khusus, staf ahli, komisaris BUMN, dan sejenisnya lebih banyak berurusan dengan persoalan politik dan logistik daripada profesionalisme dan kinerja.
Sudah banyak yang tahu bahwa buzzer yang masuk pemerintahan menunjukkan hal sederhana: operasional yang sebelumnya dibiayai oleh kantong bohir pribadi kini dapat menumpang di nomenklatur APBN. Banyak juga yang tahu bahwa jika jabatan komisaris BUMN sudah habis terbagi, tapi rombongan pendukung masih banyak, mereka bisa ditempatkan di posisi anggota komite-komite BUMN. Jumlahnya fleksibel, dengan gaji, fasilitas, dan tunjangan yang mirip komisaris BUMN, hanya tanpa bonus atau tantiem.
Namun, sejauh ini, kita bicara tentang betapa terhormatnya profesi buzzer. Pertanyaan kritis selanjutnya adalah: coba teliti lagi, apakah benar Kurawa menjadi staf khusus menteri di Indonesia? Apakah relevan mempertanyakan latar belakang akademik dan profesionalnya?
Jangan-jangan kita salah!
Bisa jadi Kurawa diangkat karena ia seorang peramal paten, yang terbukti benar ramalannya. Pada 27 Juni 2019, ia mencuit: "#KangenSujudSyukur Prabowo. Harus nunggu 5 tahun lagi."
Terbukti, saat ini Prabowo jadi presiden.
Tapi, apakah Prabowo adalah Presiden Indonesia? Bukan! Sebab, menurut cuit Kurawa pada 17 Agustus 2014: "Prabonesia, Wowo Islands, NusaBowo, Woland. Apalagi, ya, kandidat nama negara baru untuk mengakomodir yang mulia 'presiden terpilih' Prabowo?"
Jadi, tidak salah juga jika kita anggap Kurawa sebagai Staf Khusus Menkomdigi Negara Kesatuan Wowo Island!
Tak usahlah kita ribut berlebihan membicarakan integritas dan kompetensi pejabat negara orang lain.
Salam.
(fb)