Whoosh, bagi saya, tidak OK
Oleh: Lies Marcoes*
Sebetulnya saya pernah "sesumbar", tak akan naik kereta cepat ke Bandung itu karena urusan kemarahan ideologis.
Berapa ribu hektar perkebunan teh musnah, padahal itu bantal masyarakat tepian kota di Jawa Barat untuk bertahan agar mereka tak menjadi pelaju ke kota sebagai buruh serabutan.
Kebun teh adalah tempat ribuah perempuan tak berpendidikan, utamanya yang tak lagi muda dapat mencari nafkah.
Oleh suatu kebutuhan untuk mengejar wawancara sore, padahal sampai jam 12 masih ada acara di UIN Jakarta, saya dan asisten peneliti memilih naik Whoosh. Ya sudah.
Saya lansia madya, menjelang 70 tahun. Tapi saya masih aktif. Saya rasa bukan karena dasarnya gak suka, tapi sebagai lansia, naik whoosh itu bikin kapok.
Masa menunggu untuk naik itu satu hal. Lalu berbaris-baris untuk pindah dari satu ruang ke ruang lain, boleh lah, agar tertib.
Lantai yang bersilangan dengan jalan bagi penyandang disabilitas netra benar-benar tak menimbang mereka yang bawa anak/stroller atau lansia yang nyeret-nyeret koper.
Dibutuhkan ekstra tenaga untuk menjunjung koper bolak balik setiap saat, atau menyeret paksa roda koper tatkala bersimpangan dengan lantai pelintasan jalur netra. Jalur netra itu utama, penting dan benar, tapi tak menimbang kebutuhan pihak lain, seperti lansia, itu apa namanya?
Begitu tiba di Padalarang, penumpang antri berjejal menaiki dan menuruni tangga berjalan, mengejar kereta feeder.
Tiba di Halim, ketika pulang, kita berjalan sesuai petunjuk ke arah depan/keluar. Di sana tersedia jebakan batman! tangga menjulang. Maju kena, mundur kena. Memang ada abang-abang yang siap "bantu" dengan bayar "seikhlasnya" untuk angkut koper turun tangga. Tapi cara menawarinya bikin kita merasa tak ada pilihan dan tak berdaya, "Ada lift Bu tapi jauh di belakang dan antri lama, nanti Ibu juga musti balik lagi ke arah sini karena penjemputan ada di depan. Boleh dibantu bu..." Hmmm.
Lebih cilaka lagi mobil pribadi itu anak tiri, letaknya ada di jalur tiga setelah grab di jalur 1 yang di ujung jalan masuknya dipalang dan diijaga "petugas" grab dengan palang abal-abal pakai bambu untuk memisahkan grab dan mobil pribadi. Dan jika mobil pribadi sudah terjebak di jalur grab, penumpang harus lari-lari ke ujung jalur itu atau habis diklakson orang di belakang, minta pindah jalur tiga..woii!!! Taxi biru di jalur dua, lalu jalur mobil pribadi di jalur tiga.
Tak tersedia pelintasan di antara tiga jalur itu, jadi silahkan menyelinap di antara crab dan taxi biru. Jangan tanya kalau hujan, tak ada koridor untuk menggapai jalur 3.
Bagi lansia, apalagi perjalanan solo/sendirian whoosh itu wassalam bukan pilihan. Cukup sekali dan tak akan lagi.
(Percaya kalau ada yang ngomel "Salah sendiri lansia kok masih jalan. Duduk, ibadah, ngurus cucu di rumah Nek. Maaf itu kendaraan kaum muda, pekerja tangkas, eksekutif gesit. Lansia minggir!")
*fb