SUDAH SAYA DUGA.... TAK SEMUDAH ITU "MELAWAN" AGUAN

Catatan Agustinus Edy Kristianto: 

Sudah saya duga, membatalkan sertifikat pagar laut Tangerang tak akan semulus yang dikira orang. 

Saya membaca rilis resmi di situs Kementerian ATR/BPN (Rabu, 22 Januari 2025), dan judulnya saja sudah berbunyi: “...Kementerian ATR/BPN Akan Lakukan Proses Pembatalan.” 

Sebab, Kementerian ATR/BPN “masih terus menginvestigasi...” 

Rilis itu pun didasarkan atas “hasil penelusuran sementara.” Kementerian ATR/BPN baru “akan melakukan tinjauan ulang untuk pencabutan.”

Isu pagar laut ini unik dan penuh detail. Kita harus teliti dan cermat membaca perkembangannya. 

Apalagi, karena menyangkut bisnis properti bernilai triliunan rupiah dan bersinggungan dengan taipan kondang pemilik perusahaan besar (Aguan dan Anthony Salim sebagai sosok di balik PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk/PANI), banyak pihak yang 'berkoordinasi': DPR memanggil para pihak, aparat hukum turun tangan, militer membongkar pagar, bekas pejabat berkomentar, LSM bersuara, media berteriak, buzzer lebih-lebih lagi... Betapa indah 'mengolah' isu ini, bukan?

Namun, perhatian utama saya hanya satu: jangan mudah percaya omongan pejabat! Selalu uji ucapan dan tindakan mereka.

Bagaimana bisa yakin sertifikat itu benar-benar dibatalkan kalau kita tidak diberi penjelasan detail: nomor sertifikat, pemegang haknya siapa, objek yang dibatalkan yang mana, dasar pembatalan apa, dan apa buktinya?

Kita juga harus membedakan istilah “pembatalan” dan “penghapusan.” Jika alasannya adalah “cacat administrasi,” apa maksudnya? Sebab, menurut PP 18/2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah, “cacat administrasi” mencakup cacat substansi, cacat yuridis, cacat prosedur, dan/atau cacat kewenangan.

Kemudian, yang (akan) dibatalkan itu yang mana: SHGB milik PT Intan Agung Makmur (IAM) dan PT Cahaya Inti Sentosa (CIS), atau SHM-SHM yang mereka beli dari masyarakat sejak 1982?

Di sisi lain, saya mencermati langkah Agung Sedayu Group yang semakin "bermain terbuka". 

Mereka mengakui kepemilikan SHGB anak perusahaan PANI (CIS dengan 20 SHGB) dan non-PANI (IAM dengan 243 SHGB) yang terletak di Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji. PANI juga jelas menyatakan dalam Keterbukaan Informasi (30 Oktober 2024) bahwa mereka adalah “pengembang properti yang disponsori oleh Agung Sedayu Group dan Salim Group.”

Inti pembelaan mereka adalah bahwa perusahaan membeli SHM masyarakat berupa daratan. Sekarang, tanah itu menjadi laut karena abrasi. Menjadi SHGB karena memang demikian aturannya, sebab PT tidak dapat memegang SHM. 

Pendeknya, tanah tersebut diklaim memiliki riwayat yang jelas, tidak ada sengketa, dan dulunya berupa daratan (jika laut, bagaimana mungkin keluar surat ukur dari BPN).
Dalam berbagai berita, mereka (Agung Sedayu Group) merujuk Google Earth untuk menunjukkan keberadaan daratan pada sekitar 1982. 

Bukan tidak mungkin, dalam beberapa hari ke depan, akan muncul di media sosial berbagai bukti lain, seperti foto-foto anak bermain bola, delman melintas di kantor desa, atau pasar rakyat yang membuktikan bahwa pada tahun itu daerah tersebut memang daratan.

Saya justru khawatir, jika diperkarakan secara hukum, bisa jadi Agung Sedayu Group dkk malah yang menang! 

Bayangkan, jika itu terjadi sementara pagar laut sudah dibongkar sehingga patok batas menjadi kabur. 

Malah bisa jadi Agung Sedayu Group dkk mengajukan penarikan batas baru yang lebih luas. 

Bukankah lucu sekaligus tragis jika itu terjadi? 

Padahal, saat ini pejabat sudah ramai-ramai terjun ke laut bahkan sampai dikerahkan kendaraan tempur.

Saya hanya mengingatkan, jangan sampai terlalu bersemangat 'mengolah' isu ini demi kepentingan pribadi atau kelompok sehingga ujung-ujungnya negara yang dirugikan. Hati-hati, teliti, dan cermat untuk memastikan kepentingan negara tetap terjaga. 

Menurut saya, Agung Sedayu Group dkk tidak akan tinggal diam. Suka atau tidak, mereka punya bukti dan dasar hukum juga.

Alasan “cacat administrasi” yang disampaikan Menteri ATR Nusron Wahid masih lemah dan mudah dibantah. 

Pembatalan hak atas tanah karena cacat administrasi sebelum jangka waktu lima tahun hanya bisa dilakukan terhadap sertifikat yang diterbitkan pertama kali dan belum dialihkan, atau jika sudah dialihkan tetapi para pihak tidak beriktikad baik. 

Selain itu, pembatalan dapat dilakukan jika terdapat tumpang tindih hak atas tanah. Kalau sudah lebih dari lima tahun, pembatalan harus melalui mekanisme peradilan (PP 18/2021).
SHGB Agung Sedayu batal pun tidak otomatis membatalkan SHM tahun 1982, apalagi tanpa putusan pengadilan. Jika dianggap tidak beriktikad baik, apa bukti dan dasar hukumnya? Jika ada klaim tumpang tindih, mana buktinya? Mana putusan pengadilannya? Jika pemerintah ingin menggugat, ya harus menggugat satu per satu sertifikat di pengadilan. 

Pokoknya, prosesnya rumit dan panjang.

Saya perkirakan, para pelaku yang terlibat dalam skema permainan 'hak atas tanah' ini adalah pemain lama yang kawakan, berpengalaman, lintas keahlian, dan hampir pasti telah mengantisipasi segala kemungkinan celah dalam aturan hukum di kemudian hari.

Saya belum tahu bagaimana ujung isu ini. Kita pantau saja pergerakan sikap Presiden Prabowo Subianto, Aguan, dan Anthony Salim.

Bahasa terang saja: kuncinya di mereka bertiga.

Salam.

(fb)
Baca juga :