𝗣𝗜𝗧𝗨𝗡𝗚 & 𝗗𝗜𝗗𝗨
(𝗖𝗲𝗿𝗺𝗶𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗹𝗮𝘄𝗮𝗻𝗮𝗻 𝗗𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗥𝗲𝘁𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗭𝗮𝗺𝗮𝗻)
Sebelum dilumpuhkan dengan sebutir peluru emas, bacokan kelewang, dan tembakan dari aparat kompeni, Pitung disergap oleh Marechaussee, unit kepolisian Belanda, yang di Indonesia akrab disebut Marsose, di kuburan Kober China, Tomang.
Mundur 29 tahun sebelumnya, tepatnya pada 1864, di kawasan Rawabelong (Palmerah), lahir bayi laki-laki putra pasangan Panimin dan Sa’pinah. Bayi yang diberi nama Salikun itu dikemudian hari dikenal sebagai Si Pitung, jawara Betawi.
Melompati ruang waktu nyaris 100 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2 Mei 1962, di Pinrang, Sulawesi Selatan lahir seorang anak lelaki yang dikemudian hari dikenal sebagai “Said Didu” atau lengkapnya diberi nama Muhammad Said Didu. (penulis tidak memiliki referensi nama kedua orang tua beliau).
Sepak terjang kedua nama berjarak waktu seratus tahun ini memang tidak sama secara aktual, namun esensinya memiliki kemiripan.
Pitung pada masanya dikenal sebagai tokoh perlawanan terhadap kesewenangan kekuasaan yang menindas rakyat.
Pitung seringkali membuat resah pemerintah Hindia Belanda dengan berbagai aksinya yang dilakukannya kepada pejabat kolonial dan musuh rakyat seperti rentenir, tauke, dan tuan tanah.
Kebencian Pitung kepada pemerintah penjajah Kolonial Belanda berawal dari beberapa kejadian kekerasan yang dilakukan oknum controleur terhadap penduduk pribumi.
Esensi perlawan serupa dilakukan oleh tokoh Said Didu seratus tahun kemudian. Bedanya pada aktualisasi yang ditentukan oleh perubahan zaman dan peradaban sepanjang waktu satu abad.
Berbeda dengan Pitung sebagai Jawara Silat, Said Didu mengawali eksistensinya sebagai Birokrat.
Pada usia 25 Said Didu merintis kariernya secara berjenjang dari bawah. Ia menjadi staf, peneliti, pimpinan proyek, Direktur Teknologi Agroindustri hingga menjadi Tim Ahli Menristek/Kepala BPPT pada 2004.
Di usia yang masih relatif muda (43 tahun), ia telah dipercaya menjadi Sekretaris Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Direntang waktu yang sama, ia juga pernah diberi amanah sebagai sebagai Komisaris Independen beberapa perseroan besar milik negara.
Sepak terjangnya yang pro rakyat dan justru sarat dengan kritik terhadap kebijakan pemerintah di era kekuasaan rezim Jokowi membuat Said Didu dianggap sebagai duri dalam daging.
Rezim Jokowi mempreteli karier Said Didu dalam birokrasi pemerintahan, namun demikian alih-alih surut, upaya untuk membungkam kritik Said Didu justru malah semakin meneguhkan semangat perlawanannya untuk membela kepentingan rakyat.
Demi perjuangannya membela rakyat dari penindasan oligarki yang melanggengkan kekuasaan rezim Jokowi, Said Didu yang sudah mengabdi 32 tahun 11 bulan 24 hari ini mengajukan pengunduruan diri sebagai pegawai negeri per 13 Mei 2019.
Pitung dan Didu merupakan sosok perlawanan terhadap penindasan yang terbelah oleh ruang waktu. Keduanya menjadi simbol perlawanan rakyat kecil dari penindasan penguasa pada zamannya masing-masing.
Pitung pada masanya oleh pemerintahan Belanda dicitrakan sebagai kriminal, perampok kejam yang mengancam kekayaan para pejabat pemerintah Belanda serta antek-anteknya.
Tak sedikit harta para pejabat Belanda, Demang, Tukang Pungut Pajak Rakyat yang diambil Pitung untuk dibagikan kembali kepada rakyat. Karena itulah kemudian oleh Pemerintah Kolonial Belanda Pitung dihancurkan karakternya.
Dengan sarana media yang ada pada saat itu, Pitung diopinikan sebagai kriminal, dipropagandakan sebagai perampok kejam yang memperkaya diri sendiri, lalu buru oleh marsose untuk ditangkap dan dibunuh.
Hal serupa dilakukan Said Didu. Akibat perlawanannya yang membela tanah rakyat yang “dirampas” lewat skema kebijakan rezim, Said Didu dicitrakan oleh para antek-antek rezim dan oligarki (kini disebut dengan istilah “Buzzer”) sebagai oportunis yang mencari keuntungan untuk dirinya sendiri.
Sebagaimana halnya Pitung, Said Didu juga berusaha disingkirkan lewat jalur hukum. Namun kemudian buru-buru ditangguhkan ketika melihat upaya penyingkiran tersebut justru berpotensi menjadikan Said Didu sebagai martir yang akan menggelorakan api perlawanan rakyat.
Perjuangan Pitung dan Didu ini adalah dua kisah yang menjadi cermin perlawanan terhadap penindasan dan kesewenang-wenangan kekuasaan terhadap rakyat dalam retakan zaman terbelah waktu.
Sebagaimana halnya kisah Si Pitung, kisah Said Didu pun kelak akan menjadi sebuah kisah heroik sebuah perjuangan melawan penindasan, betapa pun upaya penghapusan fakta dan penggiringan opini berusaha direkayasa.
Sejarah boleh saja ditulis oleh pemenang dan kisah pahlawan tak ditulis oleh pemiliknya sendiri, namun setiap perjuangan dan perlawanan terhadap penindasan pada waktunya kelak akan tercatat dalam ruang dan waktu yang abadi.
Seperti nasihat yang sering didengar, dunia hanya sementara, namun akhirat selamanya. Tentu saja itu hanya berlaku bagi mereka percaya bahwa Tuhan pemilik alam semesta ini ada.
(BY @Naz_lira)