Omnibus Law, Biang Kerok Kapling Laut

Omnibus Law, Biang Kerok Kapling Laut

Oligarki itu pintar. Bukan hanya pintar, tapi juga cerdik dan julik. Mereka tahu Indonesia itu negara hukum, maka untuk memuluskan ambisinya aturan harus disesuaikan. Soal bagaimana caranya. Serahkan kepada ahlinya juga kepada yang berwenang.  

Maka, dibuatlah aturan yang super duper raksasa. Membuldoser aturan-aturan lama. Nama resminya Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020. Aturan ini lebih terkenal dengan omnibus law.

Ada 80 undang-undang yang diubah. Sehingga ketebalannya mencapai 1187 halaman dengan memuat 1200 pasal. Berani taruhan kalau ada anggota DPR yang khatam mempelajari, mengkaji dan mengkritisanya tak beri hadiah.  

Untuk mengkritisi harus paham dulu 80 undang-undang tersebut. Kemudian baru mencermati pasal dan ayat berapa yang diubah. Hebatnya, hanya dalam waktu enam bulan puluhan undang-undang itu sudah kelar direvisi. Kata mereka untuk mempercepat investasi.

Salah satu undang-undang yang diubah adalah UU No.32 tahun 2014 tentang Kelautan. 

Setelah diubah muncul ketentuan seperti ini.

Pasal 17A:
Dalam hal terdapat kebijakan nasional yang bersifat strategis yang belum terdapat dalam alokasi ruang dan/atau pola ruang dalam rencana tata ruang dan/atau rencana zonasi, Perizinan Berusaha terkait Pemanfaatan di Laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) diberikan oleh Pemerintah Pusat berdasarkan rencana tata ruang wilayah nasional dan/atau rencana tata ruang laut.

Untuk mengeksekusi ketentuan tersebut, diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Pada bagian lima terdapat ketentuan tentang Pemberian Hak untuk Pulau Kecil dan Wilayah Perairan.

Pada pasal 65 ayat 2 bunyinya sebagai berikut:

“Pemberian Hak Atas Tanah di wilayah perairan dilaksanakan berdasarkan perizinan yang diterbitkan oleh kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kelautan dan perikanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”

Dengan ketentuan ini maka ngapling laut itu menjadi sah dan legal. Demikian pula memberikan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) maupun hak pakai. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 3 PP PP Nomor 18 tahun 2021 sebagai berikut:

Pasal 3:
Ruang lingkup Peraturan Pemerintah ini meliputi: Hak Pengelolaan; hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.

Seperti informasi yang beredar, kaplingan laut tersebut diduga kuat pemiliknya sama dengan pemilik Pantai Indah Kapuk Dua (PIK 2). Dan proyek itu dijadikan sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021. 

Klir sekarang. Alur drama kaplingan laut yang heboh itu ternyata seperti ini.

1. Dibuat aturan dasar, yaitu Undang-Undang Cipta Kerja Nomor 11 tahun 2020. Biasa dikenal dengan  omnibus law. Dan salah satu ketentuan baru tentang pengelolaan laut adalah, jika ada Proyek Stategis Nasional yang belum punya ruang maka perizinannya dikeluarkan oleh pemerintah pusat. Pemerintah pusat berarti presiden. Sehingga, seandainya gubernur Jakarta dan Banten melarang tetap bisa jalan. 

2. Diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak Atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah. Di situ ada pasal yang mengatur, bahwa hak atas tanah perairan itu boleh dikeluarkan berdasarkan perizinan dari kementerian terkait. Bentuknya bisa Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB) maupun Hak Pakai.

3. Diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2021 tentang kemudahan proyek strategis nasional

4. Penunjukan PIK 2 sebagai Proyek Strategis Nasional

5. Diterbitkan HGB perairan di laut utara Tangerang

6. Pemasangan patok-patok untuk pengaplingan

Ini baru satu kasus. Selama omnibus law dan turunannya masih ada berbagai drama penguasaan aset negara oleh oligarki akan terus terjadi. Karena itu, monggo para aktivis sekali lagi mengajukan judicial review ke MK atas aturan-aturan tersebut. 

Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) pernah mengajukan judicial review ke MK tetapi gagal. Boleh jadi dengan kepemimpinan baru, juga ketua MK yang baru mereka akan berpikir ulang. 

Dari kaca mata orang awam, Undang-Undang Cipta Kerja itu banyak bertentangan dengan UUD 1945. Barangkali hakim MK yang sekarang juga punya pandangan sama. 

Wallahua’lam.

(Oleh: Muh. Nursalim)

Baca juga :