Dari Penjajahan Bambu Runcing ke Penjajahan Bambu Modern
Sejarah perjuangan bangsa Indonesia diwarnai oleh keberanian rakyat melawan penjajah dengan alat seadanya. Salah satu simbol perlawanan tersebut adalah bambu runcing, yang menjadi senjata utama melawan penjajah yang bersenjata lengkap.
Keberhasilan perjuangan ini tidak lepas dari semangat persatuan dan pengorbanan para pejuang yang rela mempertaruhkan nyawa demi kemerdekaan.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa perjuangan melawan penjajah di masa itu menjadi lebih sulit karena adanya penguasa lokal yang berkhianat dan menjual kepentingan rakyat demi keuntungan pribadi.
Fenomena tersebut tampaknya terulang dalam bentuk yang berbeda di era modern.
Kini, ancaman penjajahan tidak lagi datang dari pasukan bersenjata, melainkan dari kekuatan ekonomi yang menguasai sumber daya alam kita.
Salah satu contohnya adalah penggunaan pagar bambu oleh pihak tertentu untuk menguasai perairan yang seharusnya menjadi milik bersama.
Ironisnya, praktik ini sering kali mendapat perlindungan dari aparat yang seharusnya mengayomi rakyat, bukan mendukung pihak-pihak yang merugikan.
Persoalan ini mencerminkan bagaimana mentalitas “selingkuh” dengan kekuatan asing atau pemodal besar masih menjadi hambatan dalam mewujudkan kedaulatan yang sejati.
Jika dahulu pengkhianatan dilakukan oleh penguasa lokal untuk memperkuat posisi penjajah kolonial, kini bentuknya berubah menjadi kolaborasi antara pengusaha besar dan institusi tertentu yang mengorbankan kepentingan rakyat kecil.
Akibatnya, rakyat kecil yang dulu berjuang dengan bambu runcing untuk merebut kemerdekaan kini harus menghadapi “penjajahan” baru di wilayah mereka sendiri.
Para nelayan, misalnya, kehilangan akses terhadap laut yang menjadi sumber penghidupan karena dihalangi oleh pagar-pagar bambu yang melambangkan kekuasaan segelintir orang atas sumber daya publik.
Hal ini semakin menyulitkan mereka yang berada di lapisan bawah untuk bertahan hidup di tengah gempuran ekonomi modern.
Kondisi ini seharusnya menjadi pengingat bagi kita semua bahwa perjuangan kemerdekaan belum benar-benar selesai.
Kemerdekaan sejati tidak hanya berarti terbebas dari penjajah asing, tetapi juga memastikan bahwa seluruh rakyat memiliki akses yang adil terhadap sumber daya negeri ini.
Untuk itu, diperlukan keberanian dan tekad yang sama seperti para pejuang dulu untuk melawan segala bentuk ketidakadilan dan penindasan, termasuk yang datang dari dalam negeri.
Hanya dengan semangat persatuan dan keberanian untuk melawan segala bentuk pengkhianatan, kita bisa memastikan bahwa kedaulatan bangsa ini tetap terjaga.
Jangan sampai perjuangan para pahlawan yang rela mengorbankan nyawa menjadi sia-sia karena kita lalai menjaga amanah mereka.
Kita harus bergerak bersama untuk memastikan bahwa tidak ada lagi rakyat yang terjajah di tanah airnya sendiri.
(Abahnya Hilmy)