[PORTAL-ISLAM.ID] Kesepakatan gencatan senjata terjadi antara Hamas dan Israel.
Kabar gencatan senjata ini disampaikan Perdana Menteri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani. Ia menyebut gencatan senjata akan dimulai pada Minggu (19/1/2025).
Dikatakan bahwa 33 sandera yang ditahan Hamas di Gaza akan dibebaskan di tahap pertama kesepakatan. Gencatan senjata ini juga bertujuan untuk mengakhiri perang di kantong Palestina itu yang sudah berlangsung 15 bulan.
Dua sumber yang dekat dengan Hamas mengatakan, Israel akan membebaskan sekitar 1.000 tahanan Palestina.
Gencatan senjata akan dimulai Minggu, 19 Januari nanti. Ini terjadi persis sebelum pelantikan Presiden AS Terpilih Donald Trump.
Sebelumnya Trump memang menegaskan perang tersebut harus selesai sebelum ia dilantik. Jika tidak akan "ada neraka" yang muncul.
Berapa Tahap?
Perjanjian gencatan senjata sendiri akan berlangsung tiga tahap. Belum jelas berapa lama gencatan berlangsung, tapi tahap pertama akan memakan waktu 42 hari.
Baru tahap satu yang diungkap detil. Sementara tahap dua dan tiga belum, namun akan diselesaikan di fase satu.
Namun mediator bersama Qatar, AS, dan Mesir akan memantau kesepakatan gencatan senjata melalui badan yang berpusat di Kairo. Bakal ada mekanisme yang jelas untuk menegosiasikan tahap dua dan tiga gencatan senjata.
"Mendesak ketenangan di Gaza sebelum kesepakatan mulai berlaku," ujar Perdana Menteri (PM) Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani.
Isi Kesepakatan?
Pada tahap pertama kesepakatan, sebanyak 33 sandera Israel yang diculik Hamas ke Gaza akan dibebaskan. Mereka yang dibebaskan adalah perempuan sipil dan rekrutan militer perempuan, anak-anak, orang tua, termasuk warga sipil yang sakit dan terluka.
Sebagai gantinya, ratusan warga Palestina yang ditahan Israel akan dibebaskan. Namun, seorang pejabat Israel mengatakan angka itu tergantung berapa banyak dari 33 sandera yang masih hidup.
Dua sumber yang dekat dengan Hamas mengatakan, kelompok itu meminta ribuan dibebaskan. Termasuk mereka yang dijatuhi hukuman panjang.
"Jumlah tahanan Palestina yang akan dibebaskan sebagai ganti sandera Israel pada tahap kedua dan ketiga akan diselesaikan selama 42 hari pertama," kata Sheikh Mohammed.
Negosiasi tahap kedua akan dimulai pada hari ke-16 gencatan senjata tahap awal. Tahap ini, merujuk laporan Times of Israel, akan mencakup pembebasan tawanan yang tersisa, termasuk "tentara pria, pria usia militer Israel, dan jenazah sandera yang terbunuh".
Posisi Israel di Gaza
Selama gencatan senjata awal yang berlangsung 42 hari, pasukan Israel akan mundur dari daerah padat penduduk Gaza. Menurut Sheikh Mohammed INI untuk "memungkinkan pertukaran tahanan, serta pertukaran jenazah dan pemulangan orang-orang yang mengungsi".
Israel nantinya akan mempertahankan zona penyangga di Gaza selama tahap pertama. Pasukan Israel diperkirakan akan tetap berada hingga 800 meter di dalam Gaza yang membentang dari Rafah di selatan hingga Beit Hanun di utara.
"Pasukan Israel tidak akan sepenuhnya mundur dari Gaza sampai semua sandera dikembalikan", kata pejabat Israel.
Media Haaretz mengatakan Israel menginginkan pergerakan penduduk dari Gaza selatan ke utara. Sumber yang dekat dengan Hamas mengatakan pasukan Israel akan mundur dari koridor Netzarim ke arah barat menuju Jalan Salaheddin di timur, yang memungkinkan orang-orang yang mengungsi untuk kembali melalui pos pemeriksaan elektronik yang dilengkapi dengan kamera.
"Tidak akan ada pasukan Israel yang hadir, dan militan Palestina akan dilarang melewati pos pemeriksaan selama pemulangan para pengungsi," katanya.
Mengapa Netanyahu kini setujui gencatan senjata dengan Hamas?
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, selama ini selalu menolak seruan untuk gencatan senjata di Gaza, tetap berpegang pada keyakinan bahwa Hamas harus dikalahkan secara militer.
Namun, perkembangan terkini menunjukkan adanya perubahan sikap dari Netanyahu.
Apa yang menyebabkan perubahan ini?
Para analis melihat tekanan besar dari AS, terutama dari Presiden terpilih Donald Trump, serta kekalahan militer yang dialami Israel di medan perang.
Peran Trump dalam Memaksa Netanyahu Mundur
Dua analis politik mengatakan kepada Al Jazeera bahwa Trump telah menggerakkan publik Israel untuk menekan Netanyahu, memaksanya mengejar kesepakatan gencatan senjata. Trump dilaporkan terlibat langsung dalam negosiasi yang sudah berlangsung selama beberapa minggu.
Media Israel, seperti Channel 13 dan Walla, mengonfirmasi keterlibatan pribadi Trump, dengan utusannya untuk Timur Tengah, Steve Witkoff, menyampaikan pesan kepada pejabat Qatar dan Israel.
Witkoff menekankan bahwa Trump ingin kesepakatan tersebut diselesaikan dalam beberapa hari ke depan.
Sebagai respons, Netanyahu kini mempercepat upayanya untuk menuntaskan kesepakatan ini.
Retorika Netanyahu yang Melunak di Bawah Tekanan AS
Retorika Netanyahu pun mulai berubah. Sebelumnya, ia bersikeras untuk tidak menghentikan pertempuran sampai Hamas dihancurkan.
Sekarang, ia menggambarkan gencatan senjata dan pertukaran tahanan sebagai “hal yang diperlukan,” yang mencerminkan besarnya pengaruh AS.
Dr. Ahmed Al-Hila, seorang analis politik, berpendapat bahwa sikap keras Trump telah memaksa Netanyahu untuk mundur.
“Tidak ada negara besar (AS) yang akan membiarkan kepentingannya atau sekutunya (Israel) dikendalikan oleh agenda pribadi seorang pemimpin (Netanyahu),” kata Al-Hila.
Ia berpendapat bahwa penolakan Netanyahu terhadap tuntutan Trump bisa mengancam tujuan strategis Israel yang lebih besar, termasuk hubungan dengan Arab Saudi dan upaya menghadapi Iran.
Ehab Jabbarin, seorang ahli urusan Israel, setuju dan menambahkan bahwa keterlibatan Trump sangat kontras dengan sikap Presiden AS sebelumnya, Joe Biden, yang cenderung tidak memberikan tekanan besar pada Israel.
Kekalahan Militer yang Memperburuk Posisi Netanyahu
Kekalahan militer Israel di Gaza semakin memperburuk posisi Netanyahu. Meski Israel mengklaim kemajuan dalam usaha mengalahkan Hamas, pasukan mereka justru mengalami kerugian besar, terutama di Gaza Utara.
Kelompok perlawanan Palestina, yang dipimpin Hamas, berhasil menimbulkan banyak kematian tentara penjajah, menghancurkan narasi Israel yang mengklaim kendali atas wilayah tersebut.
Salah satu momen kritis adalah kerugian besar yang dialami Brigade Nahal elit dalam serangan berulang di Beit Hanoun.
Pejuang perlawanan menjadikan kota itu perangkap maut bagi pasukan Israel, membeberkan kelemahan strategi militer Israel.
Kekalahan serupa terjadi di daerah lain seperti Rafah dan Jabalia, di mana pasukan perlawanan melakukan penyergapan mematikan.
Kegagalan-kegagalan ini memicu kritik tajam di dalam negeri Israel. Banyak analis militer dan jurnalis yang menyebut Gaza sebagai “Vietnam-nya Israel,” menggambarkan beban besar yang ditanggung tentara Israel serta kegagalan mereka meraih kemenangan yang menentukan.
Ketidakpuasan publik semakin meningkat. Banyak orang Israel yang mulai meragukan kepemimpinan Netanyahu setelah 15 bulan perang yang tak berkesudahan. Keluarga-keluarga tahanan Israel juga menekan pemerintah untuk segera memulangkan mereka, menambah beban politik bagi sang perdana menteri.(*)