Masya Allah.. terharu...

Saat itu, saya sadar uang saya berkurang sekitar 420 ribu rupiah. Padahal, gaji saya sebagai guru, musyrif, sekretaris kepala sekolah, dan sekretaris bidang kesantrian hanya 250 ribu rupiah per bulan selama masa pengabdian. 

Saya tidak menyimpan uang di bank, melainkan di lemari, dan jarang memeriksa jumlahnya. 

Namun, saya ingat ada selembar uang 20 ribu rupiah yang hilang. Dari situ, saya mulai curiga bahwa ada yang mencuri.

Saya tidak ribut atau memberitahukan siapa pun. Diam-diam, saya mulai menelusuri. Saya pergi ke kantin dan bertanya, “Siapa yang belanja dengan jumlah yang tidak wajar?” Pemilik kantin menjawab, “Fulan.”

Kemudian, saya bertanya kepada orang tua Fulan, “Apakah beberapa hari ini memberikan uang jajan lebih?” Mereka menjawab, “Tidak, Ustadz.”

Selanjutnya, saya bertanya kepada santri di kamar tempat saya bertugas dan tinggal, tanpa sepengetahuan Fulan. Beberapa santri berkata, “Iya, Ustadz. Kami ditraktir oleh Fulan dua hari ini. Enak, Ustadz, kami kenyang.” Salah satu santri membisikkan, “Afwan, Ustadz. Saya melihat Fulan membuka lemari Ustadz.”

Astaghfirullah. Dugaan saya semakin kuat. Saya segera memanggil Fulan dan menggeledah lemarinya. Di sana, saya menemukan uang 100 ribu rupiah.

Saya langsung bertanya, “Uang ini milik siapa?”

Dengan wajah terperangah, Fulan menjawab, “Itu uang Fulan 2, Ustadz.”

Saya memanggil Fulan 2 dan menanyakannya langsung di hadapan Fulan. Fulan 2 menjawab, “Bukan, Ustadz. Saya tidak punya uang sebanyak itu.”

Akhirnya, saya berkata kepada Fulan, “Kalau begitu, kamu mencuri.”

Dia bersumpah, “Wallahi, saya tidak mencuri, Ustadz.”

Saya bertanya sekali lagi, “Kamu mau jujur atau membuat masalah ini semakin rumit?”

Namun, dia tetap bersikeras, “Wallahi, saya tidak mencuri, Ustadz.”

Saat itu, saya tidak punya pilihan lain. Rotan pun melayang ke kakinya. Dia menangis dan berkata, “Ana tidak ridho, Ustadz, memukul saya.”

Saya menjawab, “Ana pun tidak ridho. Tapi kamu bersumpah dengan menyebut nama Allah sambil berdusta, ditambah lagi dengan dosa mencuri.”

Dia lalu berkata, “Saya mau lapor ke Abi (bapak) saya.”

Saya menjawab, “Silakan! Ini HP-nya, telepon Abi-mu sekarang.”

Keesokan harinya, ayahnya yang seorang pengacara datang ke kantor. Beliau marah-marah dan mengancam akan membawa saya ke kantor polisi. Saya biarkan beliau bicara hingga selesai, lalu saya meminta izin untuk menjawab, “Boleh saya bicara, Pak?”

Beliau mengizinkan, dan saya berkata, “Bapak bilang Bapak sayang pada anak Bapak dan tidak pernah memukulnya. Justru saya lebih sayang pada anak Bapak! Jam 3 pagi saya bangun, lalu saya bangunkan anak Bapak untuk qiyamullail dan sahur jika Senin-Kamis. Saya ajak dia ke masjid untuk sholat wajib. Saya bimbing dia menghafal Al-Qur’an. Saya siapkan makannya, saya dampingi saat mandi dan memakai seragam, saya mengajarnya di kelas, saya bermain bersamanya, saya mengurusnya saat sakit, saya membantu PR-nya, dan saya memotivasinya saat dia futur. Itu semua saya lakukan tanpa perintah atau permintaan dari Bapak. Apakah Bapak sanggup menjalankan peran seperti itu?”

Saya melanjutkan, “Bapak tahu apa yang telah anak Bapak perbuat? Dia mencuri, bersumpah palsu, dan mempermalukan Bapak yang selama ini telah menafkahinya dengan baik. Kalau Bapak ingin menyelesaikan ini di kantor polisi, saya siap dengan bukti dan saksi.”

Sang ayah terdiam. Kemudian beliau memeluk saya, meminta maaf, dan berkata, “Demi Allah, saya ridho, Ustadz. Jika anak saya berbuat maksiat lagi, silakan lakukan apa yang Ustadz anggap maslahat bagi kami.”

Fulan pun menangis, meminta maaf, dan berjanji akan berubah. Alhamdulillah, sekarang Fulan telah menjadi seorang ustadz yang istiqomah di salah satu lembaga pendidikan. Setiap kali bertemu, dia memeluk saya erat dan berbisik, “Terima kasih, Ustadz. Jazakumullahu khairan katsiran.”

___

Penulis: Ustadz Wahab Rajasam

Baca juga :