Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Mengapa perlu meributkan makian "kurang enak pala lu, pe'a" oleh Deddy Corbuzier (DC) terhadap seorang anak SD yang mengeluh ayam goreng program Makan Bergizi Gratis (MBG) "kurang enak"? Karena DC menyandang pangkat khusus, yakni Letkol Tituler TNI. Tanpa status itu, ia warga biasa saja, bukan siapa-siapa—tak peduli berapa miliar pun pengikutnya di media sosial atau sedekat apa pun ia dengan pejabat tertinggi negara.
Tituler memang bukan termasuk kategori penyelenggara negara. Apalagi, DC juga pernah menyatakan tidak akan menerima gaji dan tunjangan sebagai tituler. Namun, peraturan perundang-undangan (PP 39/2010) mengatur bahwa tituler adalah pangkat khusus. Bahkan, terhadap penyandangnya, berlaku hukum militer dan mereka berada dalam kewenangan peradilan militer sebagaimana prajurit. Artinya, di mata negara, DC bukan warga sipil biasa. Terlebih lagi, yang menyematkan pangkat tituler kepada DC pada 2022 adalah Menhan yang kini menjadi Presiden: Prabowo Subianto.
Apa istimewanya DC sehingga mendapat pangkat tituler? Menurut pihak Kemenhan, karena "mempunyai kemampuan khusus yang dibutuhkan TNI, yakni kapasitas komunikasi di media sosial" (Kompas, 11/12/2022). Selain itu, DC juga digelari oleh Kemenhan sebagai "Duta Komcad (Komponen Cadangan)."
Artinya, pangkat tituler bukan gelar sembarangan karena diberikan oleh lembaga negara yang resmi dan terhormat. Sepanjang saya cermati dari para penerima pangkat tituler sebelumnya seperti Paku Alam VI, VII, VIII; Mangkunegara VII dan VIII; Nugroho Notosusanto; Soerjadi Soerjadarma; Pakubuwana X dan XII; Hamengkubuwana VIII dan IX; KH. Darip Klender; Idris Sardi; Teuku Nyak Arif—tak ada seorang pun yang pernah berkata semacam "kurang enak pala lu, pe'a" kepada bocah SD yang spontan berkata ayamnya kurang enak. Padahal, komentar tersebut sebenarnya wajar karena sesuai dengan perkembangan otak anak yang masih berada pada tahap subjektif (enak vs tidak enak). Hal ini akan terus berkembang seiring faktor lain seperti lingkungan, sensorik, dan sebagainya.
Bisa diduga kuat, kemampuan komunikasi DC di media sosial—yang menjadi dasar pemberian pangkat tituler—mulai diragukan setelah peristiwa "kurang enak pala lu, pe'a" ini.
Persoalan semakin melebar jika ditafsirkan bahwa makian "kurang enak pala lu, pe'a" kepada anak SD oleh seorang prajurit TNI seperti DC melanggar lebih dari separuh dari 8 butir Wajib TNI, antara lain: bersikap ramah tamah terhadap rakyat, sopan santun terhadap rakyat, menjaga kehormatan diri di muka umum, tidak sekali-kali menakuti dan menyakiti hati rakyat, serta tidak sekali-kali merugikan rakyat.
Saya percaya, TNI adalah lembaga terhormat, dan prajuritnya senantiasa memegang teguh Sapta Marga yang salah satunya adalah menjadi kesatria Indonesia yang membela kejujuran, kebenaran, dan keadilan.
Masalahnya adalah perkataan DC tidak benar, yakni sama sekali tidak ada kaitan antara ungkapan anak SD tentang ayam goreng yang kurang enak dengan status kaya-miskinnya seseorang, seperti dipersoalkan oleh Letkol Tituler DC: "Sekaya apa, ente?"
Yang benar adalah, menurut Badan Pusat Statistik (BPS), orang miskin Republik Indonesia adalah "mereka yang mengeluarkan uang paling banyak Rp21.250 per hari. Warga yang pengeluarannya di atas itu sudah dianggap tidak miskin meski nyatanya mereka masih hidup rentan dengan standar konsumsi yang sangat kecil" (Kompas, 16/1/2025).
Standar kemiskinan ala pemerintah itu sudah 26 tahun tidak diubah sehingga selama ini kemiskinan seolah-olah turun drastis. Padahal, sesungguhnya karena standar yang digunakan pemerintah untuk mengukurnya sudah terlalu rendah.
Kenyataannya, orang miskin di Indonesia jauh lebih banyak daripada yang disampaikan pemerintah. Dan inilah kebenaran sesungguhnya yang perlu diketahui oleh semua orang di seluruh dunia secara gratis, tanpa perlu berlangganan Rp23 ribu/bulan untuk menikmati konten eksklusif Instagram Letkol Tituler yang bersangkutan.
Salam.
https://t.co/9jMqmLRY9I pic.twitter.com/hEFORUfBZQ
— Jejak digital. (@ARSIPAJA) January 17, 2025