"Keberuntungan" Mayor Teddy?

Oleh: Made Supriatma

Tadi saya menonton video reel. Isinya potongan ceramah manajer HRD (SDM) sebuah bank swasta terkemuka. Dia bilang, untuk satu rekrutmen di bank tempatnya bekerja, pelamarnya berjumlah sekitar 5,000 orang. Yang diterima hanya 5-7 orang saja.

Dia memberikan tips tentang bagaimana lolos dari seleksi ketat itu. Katanya, yang menentukan itu bukan prestasi akademis kamu. Biar pun IP-mu 4, tetap bukan jaminan diterima. Juga bukan kamu saleh atau nggak. Bukan juga karena kamu cantik atau ganteng. Juga bukan karena manner kamu baik.

Itu semua tentu juga menjadi faktor. Tapi tidak cukup untuk menjadi pegawai bank-nya yang prestisius itu. Kuncinya, katanya, ada pada "mental". Apakah kamu tahan banting dalam tekakan kerja yang tinggi. Seberapa jauh kamu punya ketahanan menghadapi situasi yang sulit.

Saya nyengir mendengar ceramah itu. Dan, sedikit pun saya tidak percaya. Para kere-wan kere-wati itu kurang tahan banting apa? Kurang sulit apa? Ya, nggak bisa jadi pegawe bank-mu.

OK-lah kalau bank itu punya satu standar kualitas. Namun tidak seperti yang "dimistifikasi" oleh manajer HRD itu.

Dalam hidup itu, saya kira, orang harus masuk ke dalam dulu. Setelah bisa masuk -- entah karena faktor keberuntungan atau karena faktor luck (ya luck!) -- terserah kamu berusaha sekuatmu. Namun lagi-lagi, kamu harus 'strike the right cord' atau memetik nada yang pas.

Artinya? Ya beruntung lagi. Banyak orang cemerlang ketika masuk satu institusi dan nggak jadi apa-apa. Ada juga yang bersinar, kemudian jatuh di tengah jalan.

Ada yang sama sekali nggak bersinar, latar belakang tidak menjanjikan namun karena "keberuntungan" bisa naik bahkan hingga ke jabatan tertinggi. Tentu kemampuan individual juga ada pengaruhnya. Kemampuan meyakinkan banyak orang misalnya.

Hanya saja kemungkinan Anda menjadi hebat semakin besar kalau Anda berasal dari lingkungan, khususnya keluarga, yang juga hebat. Misalnya, Anda "makbeduduk" (tiba-tiba) bisa jadi wapres, karena punya paman Ketua MK dan bapak yang presiden. Atau, jadi ketua partai dua hari setelah jadi anggota.

Yang lebih sulit memang adalah faktor keberuntungan. Seperti seorang mayor ini. Umurnya baru 35 tahun. Namun keberuntungan membawanya ke lingkaran terdalam kekuasaan. Ini faktor "luck" tadi.

"Keberuntungan" lain adalah "kondisi kesehatan" Presiden yang tidak baik-baik saja. Jadi, apa-apa harus "di-tackle" oleh orang terdekatnya ini. Orang seperti Ta'im atau Miftah yang beresiko menjatuhkan image Presiden, dia (Mayor Teddy) yang urus (bereskan). Dia seolah-olah adalah 'gate-keeper' (penjaga pintu) untuk orang yang mau berurusan dengan presiden.

Nah, kalau Anda masuk jadi karyawan bank swasta yang prestisius tadi, apakah Anda bisa punya kekayaan 15 milyar saat berumur 35 tahun? Atau kalau Anda professor? Apalagi peneliti atau filsuf?

Ajaibnya, orang-orang bisa berpenghasilan super besar seperti ini pada umumnya "bekerja untuk negara". Mereka "mengabdi" pada negara ini.

Anda pikir ini normal? A matter of luck? A matter of achievement? A reward from state for incredible qualities that you contribute to the public? (soal keberuntungan? karena prestasi? Penghargaan dari negara atas kualitas luar biasa yang Anda sumbangkan kepada masyarakat?)

Ini bukan soal iri hati terhadap kekayaan orang lain. Ini soal accountability (pertanggungjawaban) -- karena ia bekerja sebagai karyawan negara dan digaji oleh pajak yang Sodara bayar.

(fb)
Baca juga :