JALAN SESAT FOOD-ESTATE

JALAN SESAT FOOD-ESTATE

Oleh: Farid Gaban

Pemerintahan Prabowo ngotot mengembangkan food-estate skala besar, model pertanian yang sudah gagal diterapkan sejak zaman Soeharto, Susilo Bambang Yudhoyono dan Jokowi.

Untuk memenuhi ambisi itu, pemerintah berencana membuka 20 juta hektar hutan. Ini mengerikan. Pemerintah sedang menabur angin untuk menuai badai di kelak kemudian hari.

Food-estate adalah salah satu bentuk obsesi pada gigantisme, memandang produksi skala besar itu pasti efisien dan karenanya keren. Padahal tersesat.

Gagasan food-estate bertumpu pada prinsip "economies of scale", bahwa hanya dengan skala besar, produksi pangan akan efisien.

Tapi, orang yang belajar ekonomi akan tahu bahwa efisiensi bisa juga dicapai lewat skala kecil yang terintegrasi ("economies of scope").

Meski luas lahannya sempit, integrated farming itu efisien karena orang bisa memperoleh pupuk gratis, misalnya, dari kandang kambingnya sendiri. Lewat kerjasama model koperasi, petani-petani kecil juga bisa mendapatkan bibit serta sarana produksi lain lebih murah.

Menurut Vandana Shiva, aktivis kedaulatan pangan India, 80% pangan dunia dipasok oleh pertanian keluarga (family farming) dengan hanya menggunakan 25% saja dari total lahan pertanian dunia.

Pertanian besar skala industri, sebaliknya, memakai 75% lahan untuk memproduksi hanya 20% pangan.

Data dari FAO (Badan Pangan Dunia) tidak jauh berbeda, memperlihatkan betapa pertanian kecil justru lebih efisien dari pertanian skala besar.

Menurut FAO, pertanian skala kecil menyumbang 35% pangan global hanya dengan memakai lahan 12% saja dari total lahan pertanian dunia.

FAO sendiri menyarankan agar negara-negara memperkuat pertanian keluarga skala kecil untuk mewujudkan swasembada dan ketahanan pangan. Pemerintah disarankan membantu petani-petani kecil meningkatkan produktivitas serta kesejahteraan mereka.

Hanya jika petani makin sejahtera, swasembada dan ketahanan pangan bisa lestari (sustainable).

Tak hanya pertanian skala besar belum tentu efisien, dampak lingkungannya bisa sangat serius. Apalagi jika harus membuka hutan.

Makin besar skala pertanian makin besar dampaknya terhadap lingkungan; begitu besar sehingga seringkali tak bisa dipulihkan kembali (irreversible).

Padahal hutan itu fondasi kehidupan. Dengan keragaman hayatinya, dia menginspirasi keragaman seni, budaya, dan bahkan sains.

Lihat saja seni kuliner kita yang demikian beragam. Juga arsitektur, perkakas rumah tangga, pakaian, musik dan tarian, serta tata sosial adat yang semuanya diilhami oleh alam.

Menghancurkan hutan adalah menghancurkan keragaman budaya. Pancasila cuma jadi omon-omon saja.

Hutan tak cuma berisi kayu yang bisa ditebang dan dijual. Hutan berisi aneka flora dan fauna; ganggang, lumut, dan jamur. Semua itu telah lama mengilhami sains, rekayasa teknologi dan desain.

Lihat bagaimana ikan pari dan burung paruh udang, misalnya, mengilhami desain pesawat dan kereta peluru.

Keragaman hayati menyediakan bahan dasar dan mengilhami ilmu farmasi, kedokteran, biokimia serta mikrobiologi. Hutan adalah gudang ilmu pengetahuan.

Dengan mempelajari keragaman hayati hutan kita bisa menghasilkan ilmu pengetahuan. Dan ilmu pengetahuan adalah "komoditas" paling mahal; lebih mahal dari kayu yang bisa ditebang, pangan yang bisa dipanen dan minyak yang bisa kita sadap.*
Baca juga :