Investigasi KOMPAS: Bahan Baku Pembuatan Pagar Laut Ditaksir Mencapai Rp 5 Miliar, Pengakuan Nelayan Abal-Abal BOHONG

PENGAKUAN NELAYAN ABAL-ABAL TERBUKTI BOHONG

NELAYAN BORO-BORO PUNYA UANG RP 5 MILIAR

BUAT MENCUKUPI KEBUTUHAN KELUARGA SEHARI-HARI AJA TERMEHEK-MEHEK

JAHAT BANGET MEMANG OLIGARKI

TIDAK CUKUP MEREKA MERAMPOK NEGARA INI, JUGA MENGADU DOMBA RAKYAT DENGAN MODAL CUAN HASIL RAMPOKANNYA

👇👇

Bahan Baku Pembuatan Pagar Laut Ditaksir Mencapai Rp 5 Miliar

Pagar laut yang membentang sejauh 30 km di pesisir Tangerang ditaksir menelan biaya bahan baku hingga Rp 5 miliar.  Bangunan ini dinilai mengganggu aktivitas warga.

Pagar laut yang membentang di pesisir Kabupaten Tangerang, Banten, dibangun dengan biaya yang tidak sedikit. Proses pengerjaan pun dilakukan oleh banyak orang, bahkan menggunakan alat berat.

Pantauan Kompas di Pulau Cangkir, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang, Banten, Sabtu (11/1/2025), pagar laut tersebut terlihat samar dari pinggir pantai. Hal itu karena jaraknya sekitar 1 mil dari daratan.

Salah satu cara untuk mencapai pagar laut yakni dengan perahu milik nelayan. Dion (50), salah seorang nelayan, mengantarkan kami ke bangunan pagar laut tersebut.  

Karena gelombang cukup tinggi, butuh waktu 15-20 menit untuk dapat mendekati pagar laut. Sesampainya di sana terbentang bangunan seperti jembatan yang ditopang oleh bambu setinggi 6-7 meter.

Dalam 1 meter terpasang sekitar 10 tiang bambu yang di atasnya terdapat anyaman bambu sepanjang 2 meter dengan lebar anyaman sekitar 1,5 meter yang diikat dengan tali tambang. Di bagian samping juga terpasang waring.

Di permukaan laut tampak sudah bertengger teritip yang menempel di bambu. Itu menandakan bambu tersebut sudah berada di laut paling singkat sekitar satu bulan lamanya.

SY (45), warga Pulau Cangkir, mengatakan jika bangunan pagar laut itu mulai dibangun sekitar Oktober hingga akhir Desember. Dia mengatakan selama proses pengerjaan, warga tidak dilibatkan sama sekali karena pekerja yang datang berasal dari luar Pulau Cangkir.

”Kami tidak bisa berbuat banyak karena kami kira pembangunan ini sudah berizin,” katanya. 

SY yang merupakan pengusaha bagan di wilayah itu awalnya mengira jika proyek itu adalah milik pemerintah. Namun, setelah bertanya kepada para pekerja yang datang baru diketahui bahwa proyek pagar laut didalangi oleh pihak swasta.

Darsim (68), pemilik warung kelontong di Pulau Cangkir, mengatakan, pekerja yang membangun proyek itu kerap kali datang ke warungnya untuk singgah, bahkan beristirahat. Dia menuturkan, para pekerja datang dari berbagai tempat, seperti Tanjung Pasir, Tanjung Kait, Kampung Melayu, dan Kabupaten Tangerang.

Dari curhatan para pekerja, dalam setiap kelompok diupah sekitar Rp 60.000 per meter dengan sistem borongan. Dalam satu kelompok ada 7 sampai 10 orang. ”Mereka baru mendapatkan uang satu minggu sampai satu bulan sekali, jadi mereka sering kasbon sama kami,” katanya.

Para pekerja menjalankan tugasnya mulai pukul 06.00 sampai pukul 16.00 WIB, tergantung dari cuaca. Mereka baru akan berhenti saat cuaca memburuk. Selama bekerja, beberapa di antara mereka ada yang kembali ke rumah setiap hari, tetapi ada juga yang tinggal menetap di sebuah bangunan kosong bekas gudang udang.  

Sementara pasokan bahan baku, seperti bambu, waring, dan anyaman bambu, dikirim pada malam hari dengan menggunakan truk atau mobil bak terbuka. ”Bahan baku dikirim sesuai dengan target pembangunan,” kata Darsim.

Soeharto (48), penjual bambu di sekitar Pulau Cangkir, mengestimasi jika bambu yang digunakan berdiameter sekitar 7 cm. Di pasaran, bambu itu dihargai Rp 10.000-Rp 12.000 per batang. Adapun anyaman yang digunakan sekitar Rp 45.000 per 2 meter atau sekitar Rp 22.000 per meter. Adapun untuk waring dihargai sekitar Rp 5.000 per meter.

Namun, Soeharto tidak tahu menahu mengenai harga pasti dari bambu tersebut karena pasokan bambu tidak berasal dari sekitar Pulau Cangkir. ”Bambu itu didatangkan dari luar Pulau Cangkir dengan menggunakan truk,” katanya.

Dirinya pun meyakini jika aktivitas ini diketahui oleh aparat. Pasalnya, truk yang mengangkut bambu tersebut melewati satu-satunya jalan akses desa. ”Di pinggir jalan akses itu ada banyak kantor aparat. Jadi, sangat tidak mungkin mereka (aparat) tidak tahu,” katanya.

Apalagi, dalam pemasangan pagar laut juga menggunakan alat berat. Soeharto pun menunjukkan video pemasangan bambu. Alat berat itu diangkut dengan tongkang menuju ke tengah laut. ”Jadi, kemungkinan bambu tersebut akan kokoh berdiri dalam waktu yang lama,” ujarnya.

Jika dikalkulasi dari harga bambu, anyaman, dan waring, biaya yang dikeluarkan untuk bahan baku pembuatan pagar laut yakni sekitar Rp 4,7 miliar. Itu belum termasuk biaya pekerja yang dalam satu kelompok mengeluarkan biaya sekitar Rp 1,8 miliar. Itu berarti, setidaknya biaya yang dikeluarkan untuk membangun pagar laut sekitar Rp 6,5 miliar.

Bambu itu didatangkan dari luar Pulau Cangkir dengan menggunakan truk.

Soeharto yang juga seorang nelayan pesisir mengatakan jika keberadaan pagar laut membuatnya kesulitan menangkap ikan dan udang. 

”Biasanya dalam satu hari, saya bisa menangkap sekitar 12 kg ikan dan udang, tetapi karena keberadaan pagar laut, hasil tangkapan menurun 50 persen,” ujarnya.

Sebaliknya, bahan baku untuk melaut juga bertambah dari semula hanya 10 liter menjadi 15 liter-20 liter per hari akibat perahu harus memutar menghindari pagar laut. 

”Kami berharap pagar laut dapat dicabut sesegera mungkin. Kalau tidak kami akan merugi,” katanya.

Menanggapi hal ini, Kepala Korps Kepolisian Perairan dan Udara Baharkam Polri Inspektur Jenderal M Yassin Kosasih mengatakan, pihaknya terus berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk merespons tentang fenomena pagar laut. ”Karena izin pagar laut merupakan kewenangan dari KKP (Kementerian Kelautan dan Perikanan),” katanya.

Namun, apabila terjadi gejolak sosial atau ada kemungkinan tindak pidana di dalamnya, Polri akan turut melakukan pengamanan. ”Hingga saat ini, koordinasi kami dengan KKP cukup baik,” ucap Yassin. 

(Sumber: Koran Kompas edisi 12 Januari 2025)
Baca juga :