Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Mengapa berita pagar makan laut seheboh ini? Simpel: banyak kepentingan dan menyangkut duit superbesar!
Liputan Majalah Tempo edisi pekan ini (19 Januari 2025) bagus Anda baca untuk mengetahui ada apa di balik skandal pagar laut, terutama dugaan keterhubungannya dengan PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI).
Dulunya, PANI adalah produsen kaleng kemasan (PT Pratama Abadi Nusa Industri) sebelum pada 2021 dibeli mayoritas sahamnya (80%) oleh PT Multi Artha Pratama (MAP)—perusahaan yang dikaitkan dengan duet taipan: Aguan (Agung Sedayu) dan Anthony Salim.
Dulu, saham perusahaan ini adalah saham tidur dan baru awal-awal Juli 2022 mulai diakumulasi kemudian di-mark-up: dari Rp350-an sampai sekarang Rp15 ribuan lebih.
Dibenarkan Menteri ATR/BPN Nusron Wahid (20 Januari 2025), terdapat "sertifikat yang berseliweran di kawasan pagar laut." Ada 263 bidang SHGB: 234 bidang atas nama PT Intan Agung Makmur; 20 bidang atas nama PT Cahaya Inti Sentosa; 9 bidang atas nama perseorangan (entah siapa, tak disebut); dan Sertifikat Hak Milik (SHM) 17 bidang atas nama siapa, entahlah.
PT Cahaya Inti Sentosa jelas dikendalikan oleh PT Pantai Indah Kapuk Dua Tbk (PANI) dengan kepemilikan 99,33%—seperti tercatat di Laporan Keuangan Q3-2024. PT Intan Agung Makmur punya siapa, belum bisa saya pastikan karena saya kesulitan mengakses situs AHU Kemenkumham (mungkin lagi error). Tapi di situs itu dicantumkan alamat perusahaan di Jl. Inspeksi PIK 2 Nomor 5 (Terusan Jalan Perancis), Kabupaten Tangerang, Banten.
Nusron baru tiga bulanan jadi Menteri ATR/BPN, sementara barang itu semua terbit 2023, waktu presidennya adalah bapaknya Wapres Gibran dan Menteri ATR/BPN-nya Hadi Tjahjanto—yang kemudian jadi Menkopolhukam, masih di zaman bapaknya Gibran juga.
Nusron menyatakan akan mengutus bawahannya untuk "melakukan koordinasi" apakah SHGB itu berada di dalam atau luar garis pantai kepada pihak badan geospasial (kata menteri, itu tidak terlalu sulit, paling satu hari). Kalau ternyata SHGB terbit di atas laut (artinya langgar aturan), sertifikat akan dibatalkan.
Langkah sang menteri bagus-bagus saja, tapi masalahnya saya pribadi waswas dengan kata "koordinasi." Mengapa kalau mengeceknya tidak sulit dan hanya butuh waktu sebentar, tidak dicek dulu kelayakan SHGB itu baru kemudian konferensi pers untuk mengumumkan sertifikatnya dibatalkan atau tidak? Mengapa butuh 'jeda waktu untuk berpikir' ("berkoordinasi") yang bisa memunculkan syakwasangka bakal ada bau macam-macam selama 1 × 24 jam ke depan?
Tapi, okelah, kita lihat saja nanti hasil "koordinasinya" apa. Mungkin perlu "koordinasi" juga kepada raja Jawa di Solo sana karena semasa dialah sertifikat terbit dan status Proyek Strategis Nasional (PSN) disematkan buat proyek PIK 2.
Sebagai negara "koordinasi," mungkin perlu juga "koordinasi" dengan koordinator taipan dan penguasa sekarang untuk menentukan barang ini 'bagusnya diapain.' Misal, dibatalkan dulu untuk kemudian diterbitkan lagi di lokasi yang sama setelah berita mereda; dibatalkan seluruhnya untuk kemudian diganti di lokasi lain; dipaksakan di lokasi yang sama tapi pakai 'dokumen terbang'... dan sebagainya, plus berapa dolar/rupiah kemenyannya.
Idealnya memang kita bicara pagar laut dari sudut pandang kepentingan publik, misalnya nasib nelayan, kerusakan lingkungan laut, kemiskinan di kampung sekitar PIK 2... Tapi kita tak bisa naif juga untuk bahasa terang saja bahwa semua kelat-kelit ini ujungnya adalah duit, sebab apa yang paling "menarik" bagi pejabat korup dan pemburu rente ya duit itu tadi. Motif duit itu juga agaknya yang mendasari entah siapa bos besar yang perintahkan bikin pagar untuk mematok-matok laut supaya kelak bisa dibangun unit dan dijual kepada konsumen.
Menurut neraca Q3-2024, aset PANI Rp44,1 triliun dan Rp34,3 triliunnya (78%) berupa persediaan/cadangan lahan yang berlokasi di Tangerang, Banten. Perusahaan ini punya 12,02 juta m² tanah yang sedang dikembangkan dengan status HGB berupa tanah kaveling yang siap dijual. Sementara tanah yang belum dikembangkan 6,7 juta m².
Tak sejengkal pun cadangan lahan itu yang dijadikan jaminan kredit. Malah, perusahaan pegang setidaknya Rp15,8 triliun dari uang muka penjualan properti (kaveling, rumah tinggal, kantor, dan gudang). Dia juga dapat fasilitas kredit modal kerja Rp384 miliar dari BNI. Jika Rp15,8 triliun adalah uang muka yang kita asumsikan 30%, maka total nilai properti yang dijual oleh PANI mencapai Rp52 triliun lebih.
Anda nilai sendiri berapa puluh/ratus triliun nilai keseluruhan bisnis ini sekarang dan di masa depan. Belum lagi dengan cadangan lahan yang dimiliki dan bukan tidak mungkin ke depan akan bertambah lagi (lahan darat habis, laut masih luas). Jadi, kalau, misalnya, hanya keluar Rp12 miliar untuk bangun pagar laut 30 km, sekian miliar untuk "koordinasi" pejabat sana-sini... rasanya itu seujung kuku saja.
Saya khawatir cerita pagar laut ini berakhir antiklimaks seperti biasanya: para pejabat dan taipan tetap cuan dan happy, masyarakat kecil gigit jari.
Sialnya, masyarakat kecil itu adalah kita!
Salam "Koordinasi".