BANGSA SAWIT

BANGSA SAWIT

Oleh: Made Supriatma

Presiden Indonesia mengaku sangat mencintai negeri ini. Tentu mencintai itu tergantung tafsir. Ada orangtua yang sangat mencintai anaknya dan memberikan apa saja yang dimintanya. Bahkan menjejalinya dengan sesuatu yang tidak ia perlukan.

Hasilnya? Belum tentu jadi anak baik yang berguna untuk bangsa, negara, dan agamanya.

Seminggu yang lalu, presiden Indonesia itu mengatakan di depan para perencana pembangunan, jangan takut membabat hutan untuk ditanami sawit. Toh, kata dia, sawit itu pohon juga. Penghasil oksigen juga. Jadi bukan ancaman terhadap perubahan iklim.

Saya tidak tahu darimana pikiran yang rada keblinger ini muncul. Pikiran seorang politisi itu selalu ringkas dan pendek. Mereka tidak mau diulik detail-detailnya. Singkat, padat, tas tes. Seperti Jokorup dulu. Kerja, kerja, dan kerja. Orang baik. begitu seterusnya.

Soal sawit ini juga demikian. Pokoknya buka hutan. Tanam sawit. Maka kita akan makmur sejahtera gemah ripah loh jinawe. Tanah kita subur. Alam kita menyediakan semuanya. Ibu pertiwi ini menyediakan susu dan madu. Supaya kita bisa bermalas-malasan atau bisa fokus merenungkan dan membayangkan nikmatnya hidup di surga nanti.

Pola pikir atau mindset itulah yang hidup dari babat hutan tanam sawit itu. Politisi tidak akan pernah ngomong, kayu yang tumbuh di hutan yang dibabat itu punya nilai tinggi. Bisa dijual. Untuk siapa?

Membuka lahan utnuk sawit itu juga mahal. Pakai buldozer, bongkar akar supaya hutan tidak tumbuh lagi, itu juga mahal. Cara murah? Bakar saja. Tidak peduli ribuan bahkan jutaan orang terkena dampaknya.

Sawit adalah tanaman paling efisien untuk menyediakan minyak goreng dan biodiesel. Iya, betul. Tapi apakah dia tumbuh begitu saja tanpa perawatan? Ya jelas nggak. Tanah bekas hutan itu biasanya sangat tidak subur. Ia sangat asam karena banyak pembusukan. Dan dibanyak tempat bahkan ada lapisan batubara muda.

Menanganinya? Ya dipupuk habis-habisan. Jadi, kalau Sodara mendengar kelangkaan pupuk di kalangan petani kecil, pikirkanlah ini. Ada perusahan-perusahan besar perlu pupuk dan bersaing dengan jutaan petani. Mana pilihan produsen? Ya ke perusahan besar. Ini bukan soal perusahan pupuk pilih kasih. Lebih efisien menjual ke perusahan besar ketimbaang ke jutaan petani dengan jalur distribusi yang ruwet.

Apakah sawit nggak punya hama? Ya jelas ada hamanya. Nah, berbagai macam endrin untuk membasmi hama pun diproduksi. Dan itu masuk ke alam juga nantinya. Akibatnya belum diketahui hingga kini. Atau mungkin saya yang belum menemukan studi tentang ini.

Kemudian bagaimana dengan keanekaragaman hayati (biodiversity)? Ya demi menjalankan mobilmu dan mengobati kecanduanmu akan gorengan, ribuan spesies itu harus mengalah. Manusia adalah raja alam ini. Spesies lain mulai dari gajah, kancil, hingga ke semut dan mikroba yang tumbuh dan tergantung dari aneka ragam pepohonan, akan musnah. Musnah! Dan mungkin tidak akan pernah kembali lagi.

Jadi pemandangan ribuan hektar sawit itu dibikin indah oleh para politisi. Hijau. Berderat rapi seperti barisan tentara. Iya, seperti tentara. Disiplin, rapi, teratur dan tertata. Sangat berlawanan dengan hutan tropis yang tumbuh tidak teratur. Barangkali ada persamaan pola pikir seorang jendral dengan kecintaannya pada sawit ini.
Belum lagi resiko lain. Taruh misalnya, ada serangan hama baru yang memusnahkan pohon-pohon sawit ini. Karena monokultur ini sangat mungkin terjadi. Jutaan hektar tanaman mati. Siapkah kita menghadapi ini? Tentu kemudian banyak orang lebih suka berkonspirasi (dan politisi senang sekali kalau kita berpikir konspiratif): ini adalah pekerjaan asing yang tidak senang kita maju!

Pola pikir seperti ini sangat jamak dalam masyarakat yang dimanja susu dan madu oleh Ibu Pertiwi.

Nah, ide presiden untuk membuka lahan ini langsung disambut oleh menteri kehutanan. Dia bilang, dia sudah siapkan 20 juta hektar untuk program keamanan pangan dan energi. 20 juta hektar itu setara luas dua kali pulau Jawa.

"Kami sudah mengidentifikasi 20 juta hektare hutan yang bisa dimanfaatkan untuk cadangan pangan, energi, dan air," kokoknya seperti dikutip CNNIndonesia.

Dia tidak bicara sawit. Tapi dia bicara sesuatu yang lebih manis dan legit: soal padi dan aren!
Menteri Kehutanan yang lulusan sekolah agama dan belajar ilmu politik di sebuah universitas Australia ini berkokok lebih lanjut. Ia memberikan data-data.

Dia mengklaim bahwa dengan membabat 1,1 juta hektar lahan, akan bisa diproduksi 3,5 juta ton beras per tahun, yang setara dengan total impor beras Indonesia pada 2023. Padi yang akan ditanam adalah padi gogo atau padi lahan kering.

Kemudian dia juga mengatakan bahwa pemerintah akan membuka 1,5 juta ha hutan untuk ditanami pohon aren yang niranya akan menjadi sumber bioetanol. Satu hektar aren bisa memproduksi 24 ribu kilo liter bioetanol.

Jadi, 1,5 juta hektar lahan yang ditanami aren ini akan menghasilkan 24 juta bioetanol. Menteri kita, yang pernah menjadi sekjen Partai Kaesang Indonesia (jangan disingkat!) dan penganut Jokowisme ini, membayangkan bahwa Indonesia akan memproduksi 24 juta kiloliter bioetanol. Ini hampir setara dengan impor BBM sekarang yang sejumlah 26 juta kiloliter.

Ini semua adalah cita-cita. Saya tidak tahu apa dasar kajian untuk mengatakan bahwa 1,1 juta hektar itu akan menghasilkan 3,5 juta ton padi dan sim salabim akan menggantikan impor Indonesia. Seakan padi-padi itu tumbuh tanpa modal.

Masyarakat adat melakukan praktek perladangan sirkular ini dengan sangat hati-hati. Tanah hutan yang dibuka itu bukan tanah subur dan asam. Mereka membakar lahan (sangat terbatas) untuk mengurangi keasaman sehingga padi gogo bisa tumbuh. Tentu nanti ada kebutuhan pupuk kimia dan endrin anti hama yang besar kalau ini dikerjakan dalam skala sangat besar ini.

Juga soal bioetanol. Saya agak paham soal ini karena sering berurusan dengan tuak dan arak. Nira dari aren akan difermentasi, jadi tuak dengan tingkat alkohol rendah. Kemudian disuling (distilasi) beberapa kali hingga bisa terbakar. Prosesnya panjang dan membutuhkan energi yang besar juga.

Pikiran sederhana saya, 24 ribu kiloliter dari satu hektar aren itu, apakah niranya atau bioetanolnya? Satu liter nira dengan fermentasi nira yang beralkohol hingga 12 persen, hanya akan menghasilkan maksimum 100ml alkohol dengan kadar 40%. Dan kira-kira hanya 10ml saja untuk kadar 90% alkohol, 10% air. Dan itu butuh penyulingan beberapa kali.

Dan, oh, dari 20 juta hektar itu, hanya 1,5 juta dan 1,1 hektar yang disebutkan menteri kehutanan ini. Sisanya? Kita mungkin bisa merabanya, ya kemungkinan bagian terbesarnya adalah sawit.

Kita adalah bangsa sawit -- encer dan licin, pintar menyelundup kedalam tubuh kita lewat gorengan; dan nanti akan menjalankan motor dan mobil kita. Bangsa lain beralih ke listrik, kita babat hutan untuk biodiesel dan aren (dan tebu) untuk bioetanol.

Politisi berak di mulut. Itu terjadi dimana saja. Mereka suka omong cepat, manis, legit. Mereka menghindar dari detail. Ketika berhadapan dengan detail, mereka kedodoran. Akan tetapi, bahkan kedodoran pun mereka tetap saja berak dan memberaki semua orang yang senang menadahi beraknya. Seperti yang sudah jamak dilakukan sejak jaman Jokorup, para influencer dan buzzer akan sigap membelanya.(*)

*sumber: fb penulis



Baca juga :