Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Dari segmen pengadaan (2023) Rp11 miliar (3%), marketplace (Rp1,7 triliun), dan Online to offline (Rp1,5 triliun).
Kompas.com menulis: "Nasib Bukalapak, Unicorn Marketplace yang Kini Fokus Jualan Pulsa."
Saya sempat pikir Kompas bercanda, lalu saya cek di Liputan6.com (situs berita yang se-group dengan Bukalapak), ternyata sama: "Bukalapak Resmi Tutup Layanan Marketplace, Fokus Jualan Pulsa dan Token Listrik."
Miris, ya? Unicorn adalah sebutan untuk startup yang valuasinya di atas US$1 miliar (Rp15 triliun).
Bekas Presiden Mulyono makin melambungkan istilah itu waktu debat capres.
Bukalapak adalah unicorn Indonesia pertama yang IPO pada 6 Agustus 2021 di harga Rp850 dan berhasil meraup Rp21 triliun.
Orang memuji-muji pencapaian itu. Sepuluh menteri kabinet Mulyono sampai membuat video khusus ucapan selamat—beberapa masih menjabat dan cengar-cengir saja mendengar nasib Bukalapak sekarang.
Mau berdalih apa pun juga, nyatanya sekarang BUKA bisa dibilang jadi bapuk.
Harga sahamnya ambles 88% sejak IPO (artinya rata-rata tergerus hampir 30% tiap tahun); akumulasi ruginya (Q3-2024) Rp9,3 triliun (2023: Rp8,7 triliun); rugi operasional Rp545 miliar (Q3-2024).
Saya baca pengumuman resmi, Bukalapak berkelit perusahaan tidak tutup tetapi hanya menghentikan layanan penjualan barang fisik yang tidak berdampak banyak terhadap keuangan perusahaan karena lini itu hanya menyumbang 3% dari total pendapatan.
Kalau OJK (Otoritas Jasa Keuangan) ngeh, harusnya dicek betul-tidaknya pernyataan itu.
BUKA punya tiga segmen usaha: Marketplace (termasuk barang fisik dan virtual) yang basis pemasukannya komisi transaksi; Online to offline (ada penjualan barang juga); pengadaan (pengadaan barang fisik/virtual dan jasa). Total pendapatan neto 2023 Rp3,3 triliun.
Dari segmen pengadaan (2023) Rp11 miliar (3%), marketplace (Rp1,7 triliun), dan Online to offline (Rp1,5 triliun).
Barang mana yang dimaksud? Sesuai tidak dengan kondisi material yang senyatanya?
Namun, terlepas dari itu semua, situasi sekarang mengonfirmasi apa yang saya tulis sebelum IPO BUKA (21 Juli 2021).
Keberatan saya waktu itu adalah para pejabat negara menjadi tukang pompom saham BUKA. (*Pompom saham adalah kegiatan yang dilakukan untuk mendorong orang membeli saham tertentu)
Padahal BUKA tidak seindah yang digambarkan di media: perusahaannya rugi terus (2018: Rp2,2 triliun; 2019: Rp2,7 triliun; 2020: Rp1,3 triliun).
IPO adalah panggung investor lama---banyak yang berbadan hukum asing---ambil untung (exit) semata.
Rugi dan sejenisnya adalah wajar dalam bisnis, tapi dalam kasus BUKA yang tidak wajar adalah keterlibatan pejabat negara dalam proses IPO BUKA sehingga membuka spekulasi jangan-jangan pejabat dapat penjatahan juga.
Menurut saya, bisnis utama BUKA adalah koneksi politik.
Sejumlah pejabat ditempatkan pada posisi dan peran tertentu, dan itu menjadi bagian dari strategi bisnis perusahaan.
Faktanya: mantan Menteri Keuangan jadi komisaris BUKA, misalnya. BUKA juga menjadi salah satu mitra program Kartu Prakerja di mana sebagai platform digital, BUKA mendapat Rp1 juta/peserta (hingga saat ini tidak ada satu pun lembaga negara yang mengaudit ke mana larinya duit negara triliunan rupiah dari transaksi jual-beli video Kartu Prakerja itu).
Ingat, ada keponakan salah satu menteri kabinet Mulyono yang juga menjadi pejabat di BEI dan sempat ramai karena ada dugaan keterlibatannya dalam perubahan aturan IPO yang dianggap memuluskan jalan BUKA.
Kesimpulan saya waktu itu: "Mereka 'besar' karena proteksi Presiden Jokowi."
Mungkin sekarang, setelah protektornya lengser, bisnis pun ikut lengser.
Jika Anda memiliki usaha sekecil apa pun dan dengan segala kondisi susah-payah masih bertahan tanpa ada perlakuan istimewa dari negara dan bahkan malah dikejar-kejar pajak yang sebagian besarnya dipakai untuk menggaji pejabat/birokrasi, bersyukurlah kepada Tuhan, sebab itulah namanya mukjizat.
Bandingkan dengan BUKA yang ditepuktangani para menteri, diberi jatah program pemerintah, dikasih karpet merah waktu IPO... Ujungnya: bapuk!
Dari tadi bicara bapuk dan rugi, lalu siapa yang untung? Kata kuncinya: jualan pulsa!
60% lebih pasar seluler di Indonesia saat ini dikuasai Telkomsel (TLKM). Jumlah penggunanya mencapai 160 juta.
Masalahnya adalah Komisaris Utama TLKM (Telkom) dan BUKA (Bukalapak) sama: Bambang Permadi Soemantri Brodjonegoro. Pendiri dan pemegang saham BUKA adalah Direksi TLKM: Muhamad Fajrin Rasyid (sejak akhir 2020).
Kasarnya begini: mau berapa saja harga saham BUKA, mereka tetap untung, sebab masih tetap dapat remunerasi berupa honor, tunjangan, dan tantiem dari BUMN TLKM. Fajrin dapat Rp21,5 miliar (2022) dan Rp52,7 miliar (2023). Bambang dapat Rp12 miliar (2022). Tahun ini dapat berapa? Itu yang sedang mereka nanti-nantikan tampaknya.
Tak cuma itu, menurut catatan sewaktu IPO, Fajrin pegang 2,7 miliar lembar saham BUKA yang pada harga Rp850 nilainya mencapai Rp2,3 triliun (CNBC). Jika turun pun sekarang sampai 88%, nilainya masih Rp260 miliar.
Anda punya kekayaan sebanyak itu? Kurang enak apa coba? Masalah apakah segala kekayaan dan pemasukan itu ia nikmati sendiri atau harus ia setorkan ke pihak lain sebagai 'balas budi' adalah urusan lain.
Kesimpulannya adalah: aset utama bisnis BUKA adalah patron politik. Bisnis lesu bukan karena faktor ekonomi saja, tapi juga karena kekuatan patronnya memudar.
Keputusan banting setir ke jualan pulsa yang pasarnya dikuasai Telkomsel adalah keputusan 'rasional' sejalan dengan sistem patron tadi.
Saya pikir, afiliasi dan potensi konflik kepentingan akibat posisi ganda seperti Bambang dan Fajrin itu bisa jadi pintu masuk skandal besar di masa depan buat TLKM.
Kalau Presiden Prabowo Subianto peduli pada rakyat, good governance, pemberantasan korupsi, dan sejenisnya, saatnyalah sekarang untuk menghentikan cara-cara bisnis semacam itu.
Cara yang mirip-mirip oleh rombongan orkes yang sama, saya duga, akan dilakukan di Danantara---dan bisa jadi akan merongrong pemerintahan Prabowo di kemudian hari.
Salam.
(fb)