Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara (Eks HTI)
Meski sama-sama organisasi transnasional, IM dan HT menjalankan organisasinya secara berbeda. IM tidak menerapkan satu kebijakan dan langkah dakwah yang sama step by step-nya, di tiap negara. Karena itu, IM di Mesir dengan IM di Indonesia misalnya, bisa jadi langkah dakwah yang ditempuhnya berbeda.
Sedangkan HT, tidak seperti itu. Step by step langkah dakwahnya, thariqah dakwahnya, cara pandangnya, kebijakan dasarnya, seluruhnya sama di tiap wilayah (tiap negara). Perbedaannya hanya pada sarana (uslub) yang tidak terlalu signifikan.
Karena itu, ketika ada ikhwah yang bilang, HT dulu terlibat dalam jihad suriah, saya tidak sepenuhnya sepakat. Sebagai catatan, saya mengikuti perkembangan Suriah, sejak musim semi Arab 2011, pergolakan 2014, dan seterusnya, meski mungkin tidak sedalam beberapa kalangan yang memang sangat concern terhadap isu ini.
Seingat saya, ada rilis resmi dari HT dulu, saat ramainya Suriah belasan tahun lalu, bahwa thariqah dakwah HT tidak berubah, termasuk di Suriah (sehingga tidak mungkin terlibat dalam jihad, karena itu menyelisihi thariqah dakwah Nabi). Meski saya juga dengar info, bahwa ada sebagian syabab HT (aktivis HT) yang ikut jihad.
Kita bisa gabungkan dua hal ini, bahwa yang ikut jihad suriah tersebut adalah aktivis HT atas nama pribadi, bukan atas nama organisasi. Dan kita (atau: saya) tidak tahu, apakah setelah itu mereka tetap berstatus aktivis HT atau sudah tidak lagi.
Termasuk cara pandang HT terhadap Suriah hari ini, juga tidak akan beda, mau HT di Indonesia, di Mesir, di Suriah, di Eropa, dll. Semuanya sama. Ringkasnya, Hay'at Tahrir Syam (HTS) dan kelompok lainnya yang terlibat, jika tidak bersedia menegakkan khilafah sesuai permintaan HT, siap-siap saja untuk menjadi tertuduh sebagai jongos, antek, atau istilah-istilah serupa, dari AS atau negara-negara besar lainnya.
Thariqah dakwah HT mengharuskan, setiap yang meraih kekuasaan, wajib 'alal faur menegakkan khilafah, tidak boleh tidak, karena ini tajul furudh (kewajiban paling utama saat ini) bagi mereka.
Karena itu, jika peraih kekuasaan di negara manapun, tidak bersedia, entah dengan alasan mendirikan imarah Islam yang terbatas teritorinya (seperti Afghanistan), atau menjalankan demokrasi setelah sebelumnya dipimpin tirani dengan pelan-pelan menerapkan syariah (seperti Mesir era Mursi), dan lain sebagainya, maka semuanya akan dianggap telah mengabaikan kewajiban utama ini, sehingga harus dikritik keras, dan sekaligus --mengikuti panduan kitab Mafahim Siyasiyyah-- akan tertuduh menjadi pion USA, Rusia, dan negara-negara besar lainnya.
(fb)