Tumbal di Rempang
Semalam, sekitar pukul 00:25 WIB, warga Kampung Tua Rempang diserang oleh orang-orang yang diduga sebagai karyawan PT Makmur Elok Graha. Ini adalah perusahan milik seorang Taipan yang ingin mengubah Pulau Rempang menjadi "eco-city."
Pulau ini hendak dijadikan kota dengan nuansa hijau, ramah lingkungan, dengan industri -- salah satunya adalah industri kaca yang produknya salah sel-sel solar untuk energi yang terbarukan.
Sama seperti pembangunan-pembangunan lain di negeri ini, maxim dari jaman Soeharto masih tetap berlaku, "jer basuki mawa beya." Artinya, untuk menjadi makmur itu butuh beaya. Artinya, harus ada yang berkorban (dan dikorbankan) untuk mencapai "kemakmuran" itu.
Persis seperti itulah yang sekarang berulang. Penduduk kampung-kampung tua di Rempang, para nelayan yang hidupnya sederhana dan mengandalkan hasil laut, harus pergi dari tanahnya demi 'eco-city.' Untuk membangun sesuatu yang ramah lingkungan.
Padahal, hidup mereka selama ini sudah ramah lingkungan. Mereka hidup dari alam, dan mereka harus memelihara keseimbangan alam jika ingin terus bertahan hidup. Sungguh ironis, mereka harus pindah dan tawarannya adalah perumahan seperti yang Anda lihat di gambar. Mereka harus hidup dengan rumah seragam dengan tanah 500 meter per segi.
Untuk orang-orang urban, mereka barangkali akan bersyukur kalau mendapat rumah gedung dengan luasan 500m2. Namun bagaimana dengan para nelayan ini? Mereka harus berpisah dari laut. Mereka harus bercerai dari alam yang selama ini memberi mereka penghidupan. Mereka harus tercabut dari kebudayaan maritim-nya.
Apakah ini adil? Itu selalu persoalan yang menjadi pertanyaan. Dipandang dari sisi uang, mungkin akan dilihat menguntungkan. Sebelum pindah ke rumah itu, penduduk akan diberi 1,2 juta per orang per bulan. Itu jauh lebih besar dari penghasilan mereka sebagai nelayan (tapi sekarang mereka harus beli ikan!).
Perkalian dan pembagian ekonomi di atas kertas tentu saja tidak bisa mengkalkulasi kerugian-kerugian lain. Untuk para investor dan developer, para nelayan ini adalah penghalang dari tujuan mereka. Namun benarkah demikian?
Pulau Rempang luasnya 16 ribu hektar. Sekitar 45% dari luasan pulau ini akan dipakai sebagai eco-city dan industri. Pertanyaan saya, mengapa tidak ada ruang untuk masyarakat tradisional dan membiarkan mereka memelihara kebudayaannya? Bukankah mereka adalah identitas Rempang? Mengapa mereka harus ditumbalkan demi proyek strategis nasional, yang kita tahu siapa yang akan mendapat manfaat terbesar dan pundi-pundi siapa yang paling digemukkan?
Ada banyak kota metropolis yang justru memelihara identitas lokal mereka. Hongkong masih memiliki masyarakat nelayan yang hidup secara tradisional dan bahkan menjadi pensuplai kebutuhan ikan lokal.
Mengapa investor disini sangat tidak toleran dan berpikir bahwa tugas mereka selesai dengan membikin rumah seragam dan ganti rugi sekedar untuk penduduk tradisional Rempang? Mengapa pula kekerasan harus digunakan?
Dari berita yang saya terima, semalam ada delapan penduduk asli yang menolak proyek eco-city ini terluka. Ada diantara mereka yang terkena panah. Pantaskah mereka mendapat perlakuan ini?
Keserakahan. Itulah satu-satunya yang bisa menjelaskan apa yang terjadi di Rempang. Investor tidak sedikit pun mau berbagi dengan penduduk yang sudah mendiami wilayah ini bergenerasi-generasi. Apa sih susahnya menyisihkan barang 1,000 hektar untuk mereka dan mengintegrasikan 'eco-life' yang selama ini mereka miliki dengan eco-city yang hendak dibangun?
Apakah ini akan merugikan investor itu? Sangat mungkin tidak. Bahkan mungkin masyarakat ini akan menguntungkan. Mereka akan memperkuat image eco pada kota yang akan dibangun. Coba bandingkan dengan perumahan untuk penduduk yang tergusur itu? Apanya yang eco, yang hijau, yang sustainable dari perumahan seragam model barak serdadu macam itu?
Hampir lima puluh tahun lalu kita belajar tentang 'tumbal' dari pembangunan. Kita tidak pernah belajar. Dan, kita tidak mau belajar.
Yang kita tahu adalah serakah itu penting. Kekuasaan itu nomor satu. Kekuatan itu berjaya. Dan, kita terima para nelayan sederhana itu, yang hanya ingin hidup sesuai dengan tradisi dan budayanya, menjadi tumbal! Demi industri berbalut eco. Dan, kita berwisata ke sana juga. Sama seperti ke proyek IKN yang mangkrak itu.
Indonesia ini hanya milik segelintir yang maha kuasa dan maha kaya. Sisanya? Bersiaplah menjadi tumbal! Ayo, bayar pajak!
(Made Supriatma)