Kesaksian penonton asal Malaysia yang diperas RATUSAN JUTA oleh POLISI – 'Hasil tes urine negatif, kami tetap diminta membayar untuk bebas, ditahan 2 malam'

Kesaksian penonton asal Malaysia yang diperas RATUSAN JUTA oleh POLISI – 'Hasil tes urine negatif, kami tetap diminta membayar untuk bebas'

Amir Mansor, 29, rela terbang dari Kuala Lumpur bersama teman-temannya demi berpesta dan berjoget di ajang Djakarta Warehouse Project (DWP) pada 13-15 Desember 2024 silam.

Sebagai penikmat musik rave, warga negara Malaysia ini tak mau melewatkan salah satu festival musik elektronik terbesar di Asia.

"Kami sudah biasa bepergian ke negara-negara Asia untuk datang ke musik festival. Kami pernah pergi ke Thailand, Singapura, Korea, bahkan Indonesia," kata Amir kepada BBC News Indonesia.

Tahun lalu, Amir juga datang ke Bali demi DWP. Pengalamannya menyenangkan. Jadi, dia memutuskan datang kembali tahun ini.

Sialnya, rencananya untuk bersenang-senang selama tiga hari malah berubah jadi mimpi buruk gara-gara "razia" narkoba polisi.

Amir baru saja memesan layanan taksi daring lewat ponselnya ketika dia melihat temannya dihampiri oleh sejumlah orang.

Saat itu, mereka hendak kembali ke hotel setelah menonton malam pertama festival musik tersebut.

"Awalnya saya kira mereka adalah driver ojek online yang sedang mencari pelanggan," kata Amir.

Amir berasumsi demikian lantaran orang-orang itu berpakaian bebas dan tidak menunjukkan tanda pengenal sebagai polisi maupun surat izin penggeledahan.

"Mereka memanggil teman saya yang berjalan dengan saya. Mereka menggeledah teman saya, lalu saya menunggu teman saya karena saya sudah memesan taksi online untuk pulang bersama."

"Mereka [polisi] lalu ikut menarik saya, mengecek dompet dan barang-barang saya," kenangnya.

Amir mengeklaim polisi tidak menemukan barang bukti narkoba apa pun saat dia digeledah.

Dia juga melihat polisi melakukan hal yang sama kepada sejumlah pengunjung DWP lainnya secara acak. Mereka kemudian dikumpulkan dan dibawa ke Polda Metro Jaya.

Sesampainya di kantor polisi, Amir mengaku diminta melakukan tes urine.

Ponsel mereka disita, tak dibolehkan menghubungi siapa pun termasuk pengacara atau Kedutaan Besar Malaysia.

"Mereka cuma mengizinkan kami menghubungi keluarga kami, tapi mereka memonitor komunikasi kami, lalu menyita kembali ponsel kami," terangnya.

"Mereka juga tidak mengizinkan kami menunjuk pengacara. Mereka memaksa kami menandatangani surat penunjukan pengacara yang sudah mereka tentukan."

Pada pagi harinya, polisi memberi tahu hasil tes urine mereka.

"Sebagian dari kami positif dan sebagian lainnya negatif. Tapi walaupun hasil tesnya negatif, mereka tetap mengunci kami di kantor mereka," kata Amir.

"Mereka bilang karena kami datang sama-sama, walaupun sebagian [hasil tes urine] negatif, kami diminta mengaku salah dan membayar untuk bisa bebas."

Amir mengeklaim bahwa dia dan delapan orang temannya diminta membayar Rp800 juta untuk bisa bebas.

"Padahal tidak ditemukan barang bukti apa pun pada kami, hanya tes urine sebagian dari kami hasilnya positif. Kami harus membayar Rp800 juta, walaupun hasilnya negatif, kami tetap harus bayar," jelasnya.

Amir mencoba menawar nominal uang yang harus dibayarkan. Akhirnya, mereka membayar sekitar RM100.000 (sekitar Rp360 juta).

Berdasarkan bukti transfer yang masih dia simpan, dana itu mereka kirimkan ke rekening pribadi seseorang berinisial MAB.

*Keterangan gambar, Salah satu tangkapan layar bukti transfer Amir dan teman-temannya ke rekening milik pengacara MAB. Amir dan delapan temannya mentransfer dana sebesar total RM100.000 secara bertahap. (Sumber gambar: Dokumentasi Amir Mansor)
Amir mengeklaim MAB adalah pengacara yang ditunjuk polisi sebagai pendamping hukum Amir dan teman-temannya.

Ada pula seorang pengacara lainnya berinisial AT yang punya peran serupa dengan MAB, klaim Amir.

Menurutnya, AT dikenal sebagai salah satu pengacara di lingkup Polda Metro Jaya.

BBC News Indonesia telah meminta konfirmasi Polda Metro Jaya dan Mabes Polri terkait klaim-klaim Amir ini, namun hingga artikel ini diterbitkan belum mendapat respons.

Sementara itu, Wakil Ketua Umum Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Sapriyanto Refa mengaku belum tahu soal dugaan keterlibatan sejumlah pengacara dalam kasus dugaan pemerasan ini.

'Ada beberapa yang diperlakukan lebih buruk dari kami'

Amir menghabiskan waktu hampir dua malam di kantor polisi. Selama itu, dia hanya diberi makan satu kali.

Dia mengaku melihat banyak orang bernasib sama. Orang-orang itu, kata Amir, tak cuma dari Malaysia.

"Ada orang-orang Indonesia, Singapura, dan Taiwan," tuturnya.

"Ada beberapa yang diperlakukan lebih buruk dari kami. Ada orang Taiwan yang ditaruh di sel karena kantor mereka sudah penuh dengan kami," sambung Amir.

Dia akhirnya dibebaskan pada Minggu (15/12/2024) siang.

Amir hanyalah satu dari banyak warga negara asing (WNA) yang menjadi korban pemerasan polisi berkedok razia narkoba.

Mabes Polri menyatakan bahwa ada 45 warga negara Malaysia yang menjadi korban dengan barang bukti sebesar Rp2,5 miliar.

Sebanyak 18 personel kepolisian tengah diperiksa terkait dugaan pemerasan.

Kendati begitu, Amir meyakini jumlah korban dan polisi yang terlibat lebih dari itu.

Menurutnya, beberapa orang yang dia kenal juga dibawa ke kantor-kantor polisi lain di Jakarta. Salah satunya, Polsek Kemayoran.

Kejadian itu cukup membuatnya kapok untuk datang ke DWP.

"Kalau masih digelar di Jakarta, kami tidak akan datang. Kecuali kalau mereka mengubah lokasinya atau mereka melakukan rebranding," kata Amir.

Saat ini, dia berharap agar uangnya bisa kembali. Amir mengatakan dirinya telah melapor ke Polri melalui email.

Amir sempat menghubungi AT untuk meminta uangnya kembali. Namun, kata Amir, AT mengeklaim uang hasil pemerasan telah dikembalikan ke negara.

Hingga Kamis (26/12/2024), Amir mengaku tak pernah mendapatkan uang itu kembali.

BBC News Indonesia telah menghubungi Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Ade Ary Syam, perihal dugaan keterlibatan dua advokat itu. Namun, Ade enggan berkomentar dan meminta agar pertanyaan itu disampaikan ke Mabes Polri.

Ketika ditanya, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Trunoyudo Wisnu Adiko tidak menjawab keterlibatan dua advokat dalam kasus dugaan pemerasaan.

Namun mengatakan: "Semuanya masih berproses secara berkesinambungan dan transparan bersama eksternal dari Kompolnas, sebagaimana sudah pernah di sampaikan."

Viral di media sosial

Pengalaman pahit para pengunjung DWP itu kemudian viral di media sosial. Para raver asal Malaysia ramai-ramai menyuarakan pemerasan yang mereka alami.

Penyelenggara DWP kemudian membuat pernyataan yang menyesalkan kejadian tersebut.

Unggahan itu kemudian dipenuhi oleh komentar-komentar bernada marah. Ada yang mengaku dipelototi oleh polisi saat sedang asik berjoget. Beberapa ditarik oleh polisi untuk digeledah dan berujung diperas.

Imbasnya, mereka mengatakan tak mau lagi datang ke DWP dan akan lebih memilih datang ke festival musik serupa di negara lain, misalnya Thailand.

Tindakan polisi juga dikecam oleh warganet Indonesia karena dianggap "memalukan negara" dan membuat kebobrokan institusi itu "go international".

Kasus ini juga dinilai merugikan sektor ekonomi dan pariwisata.

Menteri Pariwisata, Widiyanti Putri Wardhana, mengatakan peristiwa itu memberi citra negatif bagi Indonesia di tengah upaya mempromosikan diri menjadi destinasi kelas dunia.

"Kementerian Pariwisata menyampaikan permohonan maaf atas ketidaknyamanan dan dampak yang ditimbulkan dari peristiwa ini," kata Widiyanti.

Kamar Dagang Indonesia (KADIN) turut berkomentar karena khawatir kasus ini mengancam potensi ekonomi dari konser musik internasional.

Bagaimana perkembangan pengusutan kasus ini?

Sejauh ini, Mabes Polri telah membuka investigasi atas dugaan pemerasan yang dilakukan oleh personelnya. Namun, prosesnya baru berkutat pada ranah etik.

Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan Polri, Inspektur Jenderal Abdul Karim, menyebut ada 18 polisi yang sejauh ini diduga terlibat dalam pemerasan penonton DWP.

Ke-18 personel tersebut akan menjalani sidang etik pekan depan.

Motif para pelaku masih didalami. Namun Abdul mengatakan bahwa ke-18 polisi tersebut tidak terkoordinasi dalam satu komando.

"Dari 18 ini meliputi dari polsek, polres, polda. Tentunya berbeda. Tidak terkoordinasi jadi satu," kata Abdul dalam konferensi pers di Jakarta pada Selasa (24/12).

Ketika ditanya apakah mereka juga akan diproses pidana, Abdul mengatakan, "Terkait proses pidana, sementara ini kami fokus ke etik dulu karena kan kami akan melakukan percepatan dalam rangka sidang etik ini."

Selain itu, Polda Metro Jaya memutasi 34 anggotanya dari Direktorat Reserse Narkoba dalam rangka pemeriksaan kasus dugaan pemerasan penonton DWP.

Polisi telah membuka hotline pengaduan di Malaysia untuk menerima laporan dari orang-orang yang menjadi korban.

Namun menurut Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Hermono, belum ada korban yang melapor hingga Jumat (27/12).

Diduga dilakukan secara terorganisir

Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto mendesak agar polisi mengusut kasus ini secara transparan. Tak cuma dalam ranah etik, tapi juga pidana.

Bambang menduga tindakan sewenang-wenang polisi ini dilakukan secara terorganisir.

"Ada alur komando, ada tes urine, ada tahapan-tahapan yang dilakukan. Ini jelas dilakukan secara terorganisir," kata Bambang ketika dihubungi.

"Kalau Divisi Propam benar-benar serius menjadikan ini sebagai momen pembenahan, harus dibuka secara transparan. Personel yang terlibat, bukan hanya di level bawah saja, bahkan yang memberi komando, harus ditindak," tuturnya.

Menurutnya, modus pemerasan lewat razia semacam ini sudah menjadi rahasia umum di satuan narkotika.

Ini bukanlah kasus pemerasan berkedok razia narkoba pertama. Hanya saja, kasus-kasus sebelumnya tak sampai viral di publik.

"Modus pemerasan yang terjadi di DWP ini hanya puncak gunung es. Kasus seperti itu sangat banyak, hanya saja karena ini korbannya melibatkan WNA (Warga Negara Asing), banyak yang bisa bersuara dengan leluasa," kata Bambang.

Namun selama ini, Bambang menilai tak ada pengawasan dan penindakan terhadap personel yang melakukannya. Kasus semacam ini akhirnya menjadi ladang uang aparat dan terus berulang.

(Sumber: BBCIndonesia)
Baca juga :