Kelemahan Hizbut Tahrir Dalam Persoalan Menegakkan Khilafah

Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara (eks HTI)
 
Berikut dua komentar saya tentang HT (Hizbut Tahrir) pada salah satu postingan saya baru-baru ini:

(1) Saya tidak pernah sekalipun menuduh mereka haus kekuasaan. Bahkan saat dulu ada yang menuduh begitu, saya membela mereka.

Yang mereka inginkan memang tegaknya khilafah. Dan tidak disyaratkan bahwa yang jadi khalifah harus amir mereka. Hanya saja, kata mereka, jika sosok khalifahnya diminta dari mereka, maka mereka siap menyodorkan amir mereka sebagai calon khalifah.

Yang membuat rumit, mereka itu saklek sekali terkait sistem, bentuk, cara pengangkatan, dst., sehingga selalu "tidak nyambung" dengan gerakan-gerakan Islam yang lain, contohnya IM, Thaliban, HTS, dll. Dan harus diakui, terlihat mereka cuma 'nebeng' usaha gerakan lain. Yang meraih kekuasaan di Mesir IM, lalu mereka suruh IM menegakkan khilafah sesuai gambaran mereka. Demikian juga di Afghanistan dan Suriah. Dulu saat revolusi Iran, juga begitu.

(2) Imamah dan khilafah yang dipahami oleh HT, tidak salah.

Yang jadi persoalan adalah, mereka terlalu saklek dalam berhadapan dengan realita, kurang memahami bagaimana fiqih berhadapan dengan waqi' (realita/kondisi). Akhirnya outputnya: menyalahkan semua kelompok yang tidak mau berjuang dengan metode perjuangan seperti mereka, mendesak setiap kelompok (Taliban, IM, HTS, dll) untuk secepat-cepatnya menegakkan khilafah tanpa memahami situasi secara keseluruhan, menolak sepenuhnya penerapan syariah secara tadarruj (bertahap) yang disebabkan realita sulitnya menerapkannya secara penuh, dan lain sebagainya.

Ringkasnya, mereka pandai mengutip kitab ulama terdahulu, tapi mereka lemah dalam menghubungkan fiqih dengan waqi' (realita/kondisi) saat ini.

***

Pertanyaan: Kalau misal aturan Islam ditegakkan secara bertahap, apa dulu yg diterapkan? 

Jawaban: Bertahap yang dimaksud, bukan sesuatu yang bersifat teoritis dan kaku, tapi menyesuaikan kondisi setiap negeri, apa yang sanggup diterapkan, dst. Karena itu misalnya, jika di Indonesia ada yang berhasil membuat perda pro syariah, maka patut didukung dan diapresiasi, Aceh berupaya menerapkan syariah meski parsial layak diapresiasi, ada upaya menghadang bahaya pornografi dan pornoaksi lewat UU juga patut didukung. Dan seterusnya.

(fb)
Baca juga :