Di Balik Kasus CSR Bank Indonesia, Yang Diralat KPK, OHH GITU....

Catatan Agustinus Edy Kristianto:

Mencermati kasus 'CSR' Bank Indonesia, dugaan kuat saya begini.

'CSR' itu kode. Tanda kutip. Bank Indonesia (BI) bukan perusahaan komersial, jadi tidak ada yang namanya CSR dalam pengertian korporasi. Ingat, ini konoha. Republik bansos. Bukan hanya wong cilik yang butuh, pejabat juga butuh. Mungkin malah lebih banyak jumlahnya!

Kalau pun mau ada alokasi yang berbau sosial dalam Anggaran Tahunan BI (yang wajib disetujui DPR), lebih tepat merujuk pada nomenklatur Program Sosial Bank Indonesia dan Pemberdayaan Sektor Riil dan UMKM. Pada tahun 2023, anggaran untuk kedua program ini sebesar Rp1,2 triliun.

Pertanyaannya, berapa persen anggaran itu dari laba BI? Sebentar. Orang sering salah kaprah. BI tidak memiliki laba; yang ada adalah surplus, dan jumlahnya mencapai triliunan rupiah. Pada tahun 2023, surplus BI (setelah pajak) tercatat sebesar Rp36,3 triliun. Jadi, Rp1,2 triliun untuk program sosial itu hanya sekitar 3% dari total surplus---kasarnya, ditilep secuil saja tidak bakal ketahuan.

Ya, para ordal (orang dalam) tahulah kalau 3% CSR-nya BI itu sebenarnya lari ke mana...

Mari kita tengok ke belakang. Tahun 2007-2008, ada dana Rp100 miliar di Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI). Sebesar Rp65 miliar digunakan untuk dana bantuan hukum sejumlah pejabat BI yang terlibat kasus hukum, sementara Rp35 miliar diberikan kepada anggota DPR untuk urusan amendemen UU BI. Saya pertama kali menulis soal skandal ini di Media Indonesia. Setelah itu, ICW membuat laporan resmi ke KPK, dan saya ingat sejumlah dokumen penting terkait skandal ini bahkan menjadi bahan tesis kawan saya di Pascasarjana Fakultas Hukum UI.

Lalu ada kasus cek pelawat dalam pemilihan Deputi Gubernur Senior BI tahun 2004 Miranda Gultom. Jumlahnya Rp24 miliar. Kasus ini diungkap oleh anggota DPR, Agus Condro.'

Sejarah membuktikan bahwa korupsi bukan barang baru di BI. Sejarah juga menunjukkan bahwa BI adalah 'sahabat' DPR dalam berbagai urusan perkara seperti yang telah disebutkan di atas. Pertanyaannya, sekarang bagaimana?

Menurut saya, dunia tidak banyak berubah. DPR tetap bertaji dengan kewenangannya yang besar, terutama dalam urusan seleksi pejabat BI. Siapa saja mereka? Gubernur, deputi gubernur senior dan---pinjam istilah Gibran---para-para deputi gubernur.

Lihat saja UU No. 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan. Gubernur BI, Deputi Gubernur Senior, dan Deputi Gubernur diusulkan dan diangkat oleh presiden dengan persetujuan DPR. Jika usulan tidak disetujui DPR, presiden mengajukan calon baru. Jika masih ditolak juga, presiden wajib mengangkat kembali pejabat lama atau, lagi-lagi, dengan persetujuan DPR, mengangkat Deputi Gubernur Senior atau Deputi Gubernur untuk jabatan yang lebih tinggi.

Belum lagi soal anggaran. Di BI ada dua jenis anggaran yang harus disetujui DPR: anggaran operasional, dan anggaran untuk kebijakan moneter, sistem pembayaran, dan makroprudensial. Anggaran Tahunan BI yang di dalamnya ada 'CSR 3%' itu juga harus melalui persetujuan DPR.

Rasanya naif jika dengan kewenangan besar dan lembaga sekaya serta sestrategis BI, tidak ada urusan 'bansos kemenyan' dalam proses pemilihan pejabat terasnya. Masak kosong-kosong, aja, sih!

Saya kira ini jenis yang kerap disebut orang sebagai 'korupsi politik'. Pintu masuknya dimulai dari seleksi pejabat publik (termasuk seleksi pimpinan KPK), lalu berlanjut hingga pencairan logistik melalui berbagai skema transaksi untuk kepentingan kelompok atau pribadi. Bisa tunai, bisa nontunai. Bisa cash and carry, bisa partai tunda. Bisa langsung masuk kantong pribadi, bisa diselubungkan lewat yayasan.

Sekarang paham, kan, mengapa status tersangka kasus ini diralat oleh KPK.

Salam.

(fb)
Baca juga :