Saya tidak akan peduli dengan ucapan dan perilaku Miftah jika dia bukan pejabat publik—dalam hal ini Utusan Khusus Presiden—yang dipilih oleh Presiden dan digaji dari APBN.
Saya juga tidak kenal dia. Saya bukan kerabat, bukan saudara, bukan anggota perkumpulannya, bukan simpatisannya, bukan bawahannya. Oleh karena itu, imbauan seorang YouTuber konon beken—kawannya Miftah—yang dengan "bijaknya" berkata agar mengingatkan orang yang keliru dilakukan dengan cara yang baik, tidaklah relevan. Kita tidak sedang bicara soal kelakuan personal, melainkan standar seorang pejabat publik.
Dari sudut pandang mana pun, tindakan dan ucapan Miftah yang menghina penjual es teh adalah salah. Tidak ada alasan pembenar, tidak ada alasan pemaaf. Salah tetap salah! Mau minta maaf atau memberi "gula-gula" seperti apa pun, perbuatannya tetap salah, dan luka kemanusiaan tidak bisa pulih sepenuhnya. Ingatlah, manusia diciptakan oleh Tuhan dengan harkat dan martabat yang tidak boleh direndahkan oleh siapa pun, atas alasan apa pun.
Namun, saya bertanya-tanya, bagaimana Indonesia bisa menjadi seperti ini? Dari proses dan rahim politik seperti apakah pejabat publik seperti dia bisa lahir? Jangan-jangan kasus Miftah hanyalah puncak gunung es; bagian kecil yang terlihat di permukaan, sementara lebih banyak lagi pejabat serupa tersembunyi di balik es? Apakah meminta maaf dan menawarkan santunan setelah viral serta teguran dari Presiden melalui Seskab sudah cukup sebagai solusi?
Perlu diketahui, selain ucapan dan tindakannya yang tidak memenuhi standar etika dan perilaku pejabat negara, dalam jabatannya sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, Miftah juga merupakan satu dari 52 pejabat Kabinet Merah Putih yang hingga saat ini belum melaporkan harta kekayaannya (LHKPN) ke KPK. Dengan demikian, komitmen antikorupsinya pun patut dipertanyakan (Kompas, 6/12/2024).
Pertanyaan besarnya adalah: jika seorang utusan—apalagi "khusus"—adalah cerminan dari yang mengutusnya, apakah ini berarti Miftah adalah cerminan Presiden Prabowo Subianto? Apakah ucapan dan tindakan kasar yang menghina orang kecil, pikiran kotor, serta "pembangkangan" terhadap komitmen antikorupsi mencerminkan sosok yang mengutusnya? Ingat, utusan ada karena ada yang mengutusnya! Jika utusan rusak maka rusak pula yang mengutusnya.
Namun, lebih dari sekadar persoalan "sepele" perilaku Miftah, bangsa ini menghadapi masalah besar: brain rot.
Kita adalah bangsa yang tengah mengalami pembusukan otak yang semakin parah. Kita mengalami degradasi standar etika pejabat; moralitas, akuntabilitas, dan integritas terkikis oleh pragmatisme dan kepentingan pribadi. Sebagai publik, diskusi kita semakin dangkal, remeh, dan instan. Kita mudah dipengaruhi, diadu domba, lebih suka scrolling daripada berpikir. Bahkan memilih pejabat berdasarkan joget-joget mereka, bukan isi otak dan integritasnya.
Pendeknya, negara ini tidak serius menegakkan hukum dan etika. Pejabat yang melanggar standar etika tidak dipecat, malah dipertahankan atau bahkan dipromosikan.
Bangsa yang tidak membangun dirinya di atas landasan hukum dan etika ibarat membangun rumah di atas pasir—mudah tersapu air. Jika kasus Miftah ini dianggap sepele oleh yang mengutusnya, bukan tidak mungkin kita sebagai bangsa kelak akan tersapu air dan mati sebagai bangsa yang busuk otaknya.
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)
*fb