JUALAN KESEDERHANAAN
Oleh: Made Supriatma
Tokoh Anda ini sedang berusaha memperlihatkan kesederhanaan. Dia masih muda. Hanya 37 tahun. Dia tidak seharusnya menjabat jabatan yang sekarang dia pegang, kalau tidak karena Pamannya.
Namun pamannya itu tidak sepenuhnya bertanggungjawab. Bapaknya yang ketika itu menjadi penguasa negeri ini juga harus bertanggungjawab. Juga para politisi -- seperti presiden yang sekarang berkuasa karena dicangking bapaknya tokoh kita ini. Tapi sudahlah. Itu cerita basi yang walaupun menarik dibicarakan namun menyebalkan.
Adakah yang kira-kira tahu maksudnya tokoh kita ini? Pada awal-awal kekuasaannya bapaknya tokoh kita ini juga berusaha menarik simpati publik lewat cara ini. Ia secara sinis menjadikan kesederhanaan sebagai alat politik.
Apakah tokoh kita ini hendak meniru hal yang sama? Hendak memproyeksikan kesederhanaan -- padahal kekayaannya sudah Rp 25 milyar walaupun baru berumur 37 tahun.
Saya tahu bahwa hipokrisi atau kemunafikan dan politik adalah kembar siam. Namun politisi yang baik bermain kemunafikan dengan lebih halus.
Dan beritanya ditulis -- entah karena kedunguan jurnalisnya atau memang bertujuan untuk sinis -- tokoh kita ini tidak dikawal. Namun Paspampres tetap menjaganya.
Coba Anda perhatikan baik-baik berita receh ini. Persis. Ini adalah image making tipis-tipis dan nantinya akan terakumulasi. Sedikit demi sedikit. Nanti akan ada adegan masuk gorong-gorong dan sejenisnya.
Tahun 2020 saat kampanye menjadi Walikota Solo, tokoh kita ini masuk ke kali (sungai). Dan ia mengenakan sepatu boot karet dengan baju kaos putih bersih -- yang tetap bersih juga ketika dia naik dari kali.
Selama sepuluh tahun bapaknya tokoh kita ini melakukan itu. Jutaan orang tersihir. Jutaan orang jatuh cinta kepadanya dan siap membelanya. Hingga sekarang pun ia masih dianggap Ratu Adil oleh para pengikutnya.
Dari semua ini saya berkesimpulan bahwa Soeharto pun sebenarnya salah. Rakyat negeri ini tidak perlu dijajah dengan senjata. Machiavelli pun tidak sepenuhnya benar ketika dia mengatakan untuk seorang penguasa, lebih baik ditakuti daripada dicintai.
Namun bapaknya tokoh kita ini memberikan makna baru: untuk berkuasa Anda tidak perlu ditakuti, ndak perlu serem-serem pakai serdadu, ndak perlu otot-otot gede. Rakyat senang ditipu. Beri mereka sedikit, rampok sebanyak-banyaknya. Sementara itu bikin mereka berilusi tentang pemimpin jujur, sederhana, tidak mewah-mewah, berani nyemplung gorong-gorong. Imajinasi bahwa "pemimpin itu adalah kita!"
Dan, agaknya jaman juga membenarkan. Untuk berkuasa, Anda hanya perlu ketrampilan untuk menipu. Etika? Etika, ndasmu!
(*fb penulis)