Ketika ada seseorang meninggal, sering kita mendengar orang berkata atau menulis ucapan: “Saya bersaksi bahwa ia orang baik”.
Ungkapan itu tentu berangkat dari baik-sangkanya terhadap orang yang meninggal itu. Bisa jadi ia sahabat dekatnya, gurunya, atau orang yang ia kenal.
Sekilas tak ada masalah dengan ungkapan baik itu. Tapi karena ia memakai kata ‘saya bersaksi’, ini menunjukkan bahwa ia benar-benar yakin orang yang meninggal itu benar-benar baik. Tidak hanya baik dari apa yang tampak secara lahir, tapi juga baik secara nyata dan batin. Memastikan hal ini tentu bukan hal mudah. Apalagi kebaikan itu sesungguhnya tidak hanya apa yang tampak secara kasat mata, tapi apa yang tersimpan dan tertanam di dalam hati.
Ketika Utsman bin Mazh’un wafat, Ummu al-‘Ala berkomentar, “Saya bersaksi bahwa engkau telah dimuliakan Allah.” Mendengar ini, Rasulullah Saw bersabda: “Darimana engkau tahu hal itu? Yang jelas, kematian sudah menemuinya. Demi Allah, saya berharap kebaikan untuknya. Saya saja sebagai utusan Allah tidak tahu apa yang akan diperbuat Allah padaku.” Mendengar hal itu, Ummu al-‘Ala berkata, “Demi Allah, saya tak akan pernah mentazkiyah siapapun setelah ini selamanya.”
Kalaupun akan memuji seseorang sebaiknya katakanlah, “Menurut saya ia ... , tapi Allah yang lebih tahu bagaimana dia, dan saya tidak akan mentazkiyah siapapun terhadap Allah...”.
أَحْسِبُهُ وَاللهُ حَسِيْبُهُ وَلاَ أُزَكِّي عَلَى اللهِ أَحَدًا
Adapun kata ‘saya bersaksi’, dikhawatirkan kesaksian itu akan dicatat dan ditanyai nanti.
... سَتُكْتَبُ شَهَادَتُهُمْ وَيُسْأَلُوْنَ
“... kesaksian mereka akan ditulis dan mereka akan ditanya.” (QS. Az-Zukhruf :19).
Lagian, apa perlunya menyampaikan kesaksian seperti itu padahal tidak diminta, bahkan bisa merepotkan diri sendiri nantinya. Cukup doakan saja ia yang telah mendahului kita, semoga Allah Swt merahmati dan mengampuninya.
والله تعالى أعلم
(Ustadz Yendri)