Mushaf Digital
Oleh: Ustadz Ahmad Sarwat
Salah satu pembahasan fiqih kontemporer adalah masalah mushaf. Ada banyak kajian hukum terkait mushaf ini.
Di masa awal ketika Nabi SAW wafat, telah terjadi perdebatan seru. Apakah dibenarkan kita menggabungkan semua lembaran kulit bertuliskan ayat-ayat Al-Quran secara urut?
Sebab semasa 23 tahun bersama Nabi SAW, tidak pernah ada perintah untuk menyusun mushaf AL Quran secara utuh.
Beliau SAW bahkan sama sekali tidak memberi isyarat atau petunjuk apapun terkait menggabungkan ribuan lembaran itu menjadi satu bundel.
Perdebatan itu melibatkan dua kubu besar, yaitu Umar bin Khattab yang pro kepada penyusunan, berhadapan dengan Abu Bakar yang menolak.
Masing-masing punya argumentasi yang tidak terbantahkan. Sampai dead lock beberapa hari.
Sampai ada bahasa "Allah melapangkan dada Abu Bakar". Melapangkan itu artinya sebelumnya memang tidak lapang alias mengganjal (tidak setuju menggabungkan mushaf). Benar-benar mengganjal.
Namun kesudahannya, keduanya sepakat menyusun mushaf jadi satu.
Tapi ketika proyek ini diserahkan kepada Zaid bin Tsabit, kali ini giliran Zaid yang menolak untuk melakukannya. Alasannya sama persis, yaitu Nabi SAW tidak pernah memerintahkannya.
Sampai keluar lagi bahasa: "Allah melapangkan dada Zaid" (untuk menyusun mushaf).
* * *
Keberadaan mushaf kemudian semakin mendapatkan eksistensinya. Di masa Khalifah Utsman kemudian distandarisasi serta diresmikan beberapa jenis mushaf yang berbeda yang disesuaikan dengan riwayat qiraat yang beragam.
Di masa masa berikutnya, ada begitu banyak penambahan, baik titik ataupun harakat.
Di masa kita, mushaf berubah bentuk jadi data digital.
(*)