Misi Van Lith Memisahkan Islam dari Budaya Jawa

Van Lith, Inkulturasi dan Oposisi Terhadap Islam

Proses Islamisasi yang belum tuntas, faktor inilah yang mungkin menjadi pertimbangan utama misi Katolik yang dipimpin Fransiscus Georgius Josephus van Lith, seorang Pastur Jesuit, menjadikan kawasan lereng Merapi sebagai pusat pengembangan misi Katolik di tanah Jawa pada tahun 1899. 

Dalam pandangan van Lith, kebudayaan Jawa hanya menerima pengaruh tipis dari Islam yang sering disimbolikkan dengan pakaian. Baginya orang Jawa merupakan orang yang dijiwai kebudayaan pra Islam. Kemudian dia memakai kain dan baju Islam, tetapi begitu tipis dan begitu berlubang-lubang sehingga kulitnya yang asli masih kelihatan. 

Karena itu oleh van Lith, orang Jawa yang masuk Katolik justru disarankan untuk menjauhkan diri dari kebudayaan Eropa, karena masuk Katolik bukan berarti menerima peradaban Barat. Sebaliknya orang Katolik justru harus melanjutkan hidupnya dala kebudayaan Jawa.

Langkah besar Van Lith dimulai ketika pada tahun 1904 membuka sekolah Kolese Xaverius yaitu sekolah guru di Muntilan. Dalam pandangan van Lith, mendidik calon pemimpin dan guru adalah pintu keberhasilan misionarisme. Apalagi hal ini sejalan dengan kebijakan politik etis Belanda, dimana peran guru menjadi sangat sentral dalam masyarakat. 

Kesungguhan van Lith mendidik para calon guru di Kolese Xaverius membuahkan hasil dimana semua murid yang masuk di Kolese Xaverius, meskipun ketika masuk semuanya beragama Islam, ketika lulus semuanya menjadi pemeluk Katolik yang taat. Murid-murid van Lith menjadi komunitas Katolik pertama di Pulau Jawa.

Memisahkan Islam dari Kebudayaan Jawa

Selain menangani pendidikan, van Lith juga melakukan eksperimentasi kebudayaan. Menurut Steenbrink ada beberapa langkah pragmatis van Lith dalam mengintervensi budaya Jawa. 

Menghadiri selamatan orang Islam, terus melaksanakan khitan pada umumnya bukan merupakan kesulitan bagi orang-orang Katolik, asal mereka tidak diwajibkan mengikuti doa Islam yang dipakai di acara itu. Malah van Lith pernah mengusulkan supaya orang Katolik dikawinkan oleh penghulu, karena penghulu tidak dianggapnya sebagai pegawai atau pejabat agama, tetapi sebagai sipil saja : selama penghulu mengawinkan tanpa formula Islam, maka mestinya orang Katolik tetap kawin di hadapan penghulu. 

Meski eksperimentasi ini tidak selalu berhasil, seperti menikahkan pasangan Katolik di hadapan penghulu, namun upaya pemisahan antara budaya Jawa dengan Islam terus berjalan intensif. Generasi Katolik pribumi didikan van Lith terbukti mampu melahirkan banyak tulisan mengenai budaya Jawa.

Artikel tentang kesenian antara lain karya A. Soegijapranata tentang tari-tarian orang Jawa, D. Hardjasoewanda tentang Masjid di Jawa, H. Caminada tentang jathilan atau kuda kepang, B. Coenen tentang wayang, J. Awick tentang gamelan dan C. Tjiptakoesoema tentang rumah para Pangeran Jawa dan Gereja Katolik Bergaya Jawa. Dari persoalan-persoalan di atas, terlihat bahwa substansi yang dibicarakan cukup beragam, meliputi seni tari, musik, wayang, pakaian dan arsitektur. Artikel-artikel tersebut dimuat dalam majalah St. Claverbond yang terbit 10 kali dalam setiap tahun. 

Ada satu karya tulis dari pastur Jesuit yang dianggap mampu menangkap inti dari kebudayaan Jawa, yaitu disertasi dari Petrus Joshepus Zoetmulder yang terbit di tahun 1935. Dalam disertasinya yang berjudul Pantheisme en Monisme In de Javaansche Soeloek-Litteratuur Piet Zoetmulder dianggap mampu mengungkap inti pandangan ketuhanan masyarakat Jawa melalui telaahnya terhadap serat centhini dan pelbagai karya sastra suluk Jawa. Menurut Dick Hartoko, meskipun penelitian ilmiah (mengenai kebudayaan Jawa) tidak pernah berhenti. Tetapi ini tidak menggoyahkan patokan-patokan yang ditancapkan oleh Dr. Zoetmulder setengah abad yang lalu. 

Beberapa buku tentang Jawa pada periode berikutnya masih mengacu pada kerangka berpikir Zoetmulder bahkan lebih menspesifikkan lagi tentang apa yang disebut sebagai agama Jawa, sebagai inti dari agama apapun yang masuk ke Pulau Jawa. Jadi meskipun banyak agama besar silih berganti masuk ke Jawa namun struktur inti kepercayaan Jawa bersifat tetap. Pandangan ini kental dalam buku Paul Stange, Politik Perhatian, Rasa dalam Kebudayaan Jawa, atau buku dari Niels Mulder, Mistisisme Jawa, Ideologi di Indonesia dan Etika Jawa, Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa, karya Frans Magnis Suseno.

Penutup

Proses penggalian agama dan kebudayaan asli Jawa oleh cendekiawan Kristen, khususnya para Pater Jesuit sebenarnya merupakan langkah antara untuk sebuah Kristenisasi dalam arti luas. Apa yang dilakukan Hendrik Kreamer, Schuurman, Van Lith dan Ten Berge di masa kolonial, dan beberapa nama penting di masa sekarang seperti Jan Bakker, Frans Magnis Suseno, J.B. Banawiratmaja, SJ dan Harun Hadiwiyono, merupakan strategi misionaris Kristen untuk menghadapi Islam di Indonesia, jadi sama sekali bukan membangkitkan budaya adi luhung nusantara.

Menurut Azyumardi Azra, dengan menggali unsur pra Islam dalam kebudayaan lokal, untuk kemudian memisahkannya secara oposisional, seperti Syari’at dengan kebatinan, etika Islam dengan etika Jawa, mengikuti argumen William Roff, guru besar Emiritus Columbia University, bukan hanya untuk menjadikan Islam menjadi kabur (obscure) tapi juga memberi peluang lebih besar bagi keberhasilan misionaris. 

Dengan demikian Islam akan menjadi corpus alienum (unsur yang terasingkan) dan negligible majority (mayoritas yang diabaikan) dalam wacana pembentukan kebudayaan nasional maupun kebudayaan loWkal masyarakat Indonesia. Sebuah hidden agenda yang patut dicermati oleh kaum muslimin di Indonesia.

Arif Wibowo
Baca juga :