Mengapa Indonesia belum menjadi negara maju?

Catatan Agustinus Edy Kristianto:

Mengapa Indonesia belum menjadi negara maju?

Kata Presiden Prabowo Subianto, salah satu penyebabnya adalah tata kelola yang buruk. Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Pratikno membenarkan hal tersebut sekaligus menambahkan satu penyebab lain: kualitas SDM yang rendah (low-quality).

Saya sederhanakan begini: 

Tata kelola pemerintahan yang buruk, misalnya, adalah nepotisme dalam pengelolaan uang BUMN. 

Uang Rp6,4 triliun dari BUMN Telkomsel digunakan untuk membeli saham perusahaan milik kakak Menteri BUMN yang tidak pernah untung dan terus merugi, melalui berbagai skema transaksi yang tidak transparan dan kredibel. 

Sementara itu, cerminan kualitas SDM yang rendah (low-quality) adalah ketika banyak orang justru memuji Menteri BUMN yang diduga terlibat nepotisme itu sebagai pahlawan bersih-bersih BUMN dan tanpa rasa malu berfoto ria dengan ketua lembaga baru yang dibentuk untuk pengendalian pembangunan dan investigasi khusus.

Sejumlah riset dari lembaga kredibel pun mendukung pendapat mengenai rendahnya kualitas SDM Indonesia tersebut: Human Capital Index (HCI) World Bank, Global Competitiveness Report oleh World Economic Forum, OECD Programme for International Student Assessment (PISA), Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh BPS, Indonesia Economic Quarterly (IEQ) Bank Dunia, Human Development Index (HDI) dari UNDP... Rata-rata IQ orang Indonesia yang 78 pun sudah dirilis oleh Lynn dan Vanhanen sejak 2002. IQ rendah, kesejahteraan rendah.

Rendahnya kualitas orang Indonesia tidak hanya ditunjukkan secara statistik, tetapi juga secara 'kualitatif' seperti yang dikatakan oleh wartawan/sastrawan Mochtar Lubis pada 1977: hipokrit/munafik, enggan bertanggung jawab, feodalistis, percaya klenik, tidak hemat dan boros, tidak disiplin dan cenderung tidak tepat waktu, mudah iri dan dengki...

Rendahnya kualitas manusia Indonesia yang begitu sempurna secara kualitatif maupun kuantitatif inilah yang mungkin menyebabkan Indonesia sekarang semakin mirip dengan republik joget: memilih pemimpin yang joget-joget... Bagaimana jika tidak ada beras? Live dan jogetlah, seperti kata Sadbor.

Republik semacam itulah yang saat ini pembinaan generasi mudanya diserahkan salah satunya kepada utusan khusus Presiden bernama Doktor (HC) Raffi Ahmad.

Warga dari republik joget inilah, yang menurut Asosiasi Fintech Pendanaan Indonesia (AFPI) per Mei 2024, sebanyak 129 juta di antaranya berutang di pinjol senilai total Rp874,5 triliun.

Tak hanya pinjol, menurut PPATK, 3,2 juta warganya bermain judi online dengan rata-rata pengeluaran Rp100 ribu/hari alias Rp3 juta/bulan. Suatu fakta yang menunjukkan bahwa perputaran judi online bisa mencapai Rp900 triliun, sehingga semakin banyak orang yang tergabung dalam pro-judi-online.

Kalau begitu parahnya kualitas SDM-nya, mengapa dijuluki negara yang warganya religius? Ya, tampak religius belum tentu sejatinya religius.

Bukankah semakin banyak yang bergelar doktor juga? Ya, banyak yang dipanggil, tapi sedikit yang terpilih. Banyak yang mendaftar kuliah, tapi sedikit yang bermutu. Banyak yang diwisuda, tapi sedikit yang bernas. Bagaimana mau membangun mutu dunia intelektual-akademis setingkat doktor dalam bidang hilirisasi nikel kalau melakukan penelitian di LSM tambang saja sembunyi-sembunyi pakai joki, seperti kasus salah satu menteri yang paling doktor itu...
Jadi, Menteri PMK (yang 10 tahun sebelumnya juga menjabat Mensesneg di kabinet Mulyono) tidak salah berkata bahwa manusia Indonesia kualitasnya rendah. Ia hanya kurang introspeksi dan merenung lebih dalam lagi ke dalam jiwa melalui retret batin: "Kalau manusia Indonesia berkualitas tinggi, jangan-jangan saya malah tidak bisa terus-terusan jadi pejabat? Sebab manusia berkualitas tinggi agak sulit dirayu pakai joget dan bansos."

Apalagi Presiden, tidaklah salah berucap bahwa tata kelola yang buruk adalah penyebab utama bangsa kita tidak maju. Ia mungkin cuma belum sempat saja membabat pejabat-pejabat di sekelilingnya yang diduga kuat korup dan nepotik, seperti dalam kasus kakak-beradik Menteri BUMN yang menggunakan Rp6,4 triliun itu.

Biasanya, sih, pemimpin berkualitas tinggi tidak cuma omon-omon.

Sejarah yang akan menjadi saksi.

Salam.

Baca juga :