Oleh: Yanuar Rizky (pengamat ekonomi)
Kebijakan ini menarik dibedah secara teknis...
Begini, sejak tahun 2020 diberlakukan adaptasi konsep "Bail IN" di Standar Akuntansi Internasional (IAS) ke Standar Akuntansi Indonesia (PSAK).
Apa itu "Bail In"?
Yaitu, proses kerugian instrumen keuangan dan hak tagih yang masuk ragu-ragu langsung dibiayakan (impairment) dalam Rugi Laba tahun berjalan.
Ini merupakan konsensus internasional paska krisisi 2008, yang menganggap pencadangan taksiran penurunan nilai wajar dan atau hak tagih yang macet di dalam neraca, belum dibiayakan, menjadi beban biaya otoritas moneter dan pemerintah saat terjadi krisis.
Jadi, konsep "Bail Out", pengambilalihan hak tagih dan surat berharga yang turun nilainya oleh otiritas moneter dan perbankan seperti saat kita kriampn 1998 sudah ditinggalkan.
Jadi, kalo saya menyimak dari berita yang dinyatakan oleh Menteri UMKM "... yang sudah macet terkendala gempa, bencana alam dan covid".
Logika saya, terkait hal itu, dimana covid misalnya hentakan ke sektor usaha terjadi di buku bank tahun 2020-2022. Artinya, sudah masuk konsep bail in di PSAK, atau sudah dibiayakan
Jadi, kebijakan ini sebenernya, kalau iya yang itu, maka menghapus hak tagih secara hukum oleh Bank untuk pemulihan angka yang sudah dubiayakan dan menjadi "di luar neraca".
Artinya, kebijakan ini tak akan menimbulkan koreksi rugi laba di Bank, karena sudah dilakukan impairment.
Yang hilang adalah potensi Bank akan mendapat pemulihan hak tagih yang sudah di bail in menjadi pendapatan lain-lain dari munculnya aset goodwill di masa depan.
Ya, ini soal komitmen tak menagih untuk sesuatu yang tak akan berdampak. Move yang cerdik sih dari sisi populisme kebijakan di awal permerintahan.
Yang harus dicermati, populisme ini nantinya jadi "jalan masuk" hapus tagih ke para oligarki!
Waktu "bail out" aja diampuni hanya bayar recivery aset di BPPN hanya 27%, masa mau diulang lagi?
(*sumber: fb penulis)