Oleh: Herry Mardian
"KALO memang Allah Maha Pengampun Maha Penyayang, kenapa juga masih mempersiapkan berbagai jenis neraka seperti Wail, Jahannam, Hawiyah, Huthomah dll?"
Nah. Kalo yang nanya gini anak SMP, SMA, saya jawabnya seneng. Kalau yang nanya anak kuliah yang lagi terpesona dengan kepintarannya sendiri karena baru mulai belajar filsafat, mending jawabnya ntar aja, nunggu gede.
Kalau yang nanya orang dewasa tapi nanya baik-baik, ya mungkin saya punya jawaban. Tapi mungkin juga nggak, sih. Tergantung.
Tapi kalau saya merasakan ada nada kemarahan terhadap Tuhan, atau sinisme terhadap agama, saya memilih hemat tenaga, waktu dan pikiran. Terserah Allah aja.
Artinya, memang logikanya belum sampai. Dan bukan tugas saya juga untuk menginsyafkan orang kan. Sebab, tidak seorang pun bisa membuat dirinya sendiri atau orang lain mengimani sesuatu, jika Allah memang belum mengizinkan.
وَمَا كَانَ لِنَفْسٍ أَن تُؤْمِنَ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَجْعَلُ الرِّجْسَ عَلَى الَّذِينَ لَا يَعْقِلُونَ
"Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kesulitan besar kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." [QS Yunus : 100]
Ya kalau 'Maha Pengampun' dan 'Maha Penyayang' diterjemahkan sebagai 'harusnya tidak ada neraka' atau 'harusnya semua orang auto diampuni dan masuk surga', ya artinya gagasan dasarnya saja belum terpahami.
Kan jelas: misalkan ada seorang yang menyiksa anak kecil yatim piatu, memperkosanya, dan membuang mayatnya. Dan pelakunya hidup tenang sampai usia tua dan mati normal.
Jika orang semacam ini auto diampuni dan auto masuk surga cuma karena "Allah Maha Penyayang", lalu dimana keadilan buat si anak yatim piatu itu? Siapa yang membelanya, jika ketika di dunia tak ada seorang pun yang peduli pada dia? Lalu apa artinya kedudukan 'Rabb' —pemelihara, pelindung, penjaga, sustainer— buat anak itu?
Ya kalo logika sederhana semacam ini saja belum terpahami, mungkin memang belum haknya untuk mendapatkan penjelasan. Dia lebih milih maunya dia, "seharusnya gini" aja, sebenarnya.
Buat apa menjelaskan pencemaran lingkungan ke seorang anak, kalo inti persoalannya sebenarnya cuma dia tidak mau buang sampah di tempat sampah, titik.
Atau, tidak mau menerima penjelasan apapun karena ada kemarahan tersembunyi di dalam dadanya terhadap Tuhan dan agama.
Ya, kalo gitu, memang benar-benar hak Allah ta'ala untuk menariknya, atau membiarkannya. Tak ada seorang manusia pun yang mampu membuat hati manusia kembali pada Allah. Jadi, ya ngapain. Mau mengambil hak Allah?
Lagipula, coba renungkan. Kira-kira lebih penyayang yang mana: pertama, sosok 'Tuhan' yang berlaku tidak peduli dosa apapun, siapapun, di manapun, yang menyiksa dan memerkosa maupun yang disiksa dan diperkosa, pokoknya ketok palu, dan semua dapet auto ampunan dan masuk surga.
Atau, kedua, sosok 'Tuhan' yang menjaga agar semua hak setiap manusia tidak ada yang terlanggar sekecil apapun, semua diteliti, dicermati, jangan sampai ada yang terlanggar: baik pada pihak yang disiksa dan diperkosa, maupun pada pihak yang menyiksa dan memerkosa.
Yang disiksa dijamin dipenuhi semua hak keadilannya (dan ditambah berlipat-lipat ganda, karena dia korban kezaliman), dan yang menyiksa juga dijamin balasan kesetimpalannya, tidak berlebih dan menzalimi sedikit pun.
Dan urusan semua orang sejak manusia pertama dan terakhir yang pernah ada di dunia dicermati, apakah pernah merugikan atau dirugikan orang, pernah menyakiti atau disakiti orang, diadili dan disidang satu persatu, memastikan semua hak terpenuhi, semua pelanggaran terhukumi setimpal, semua hutang terlunasi dan semua karunia terberikan.
Buat saya sih jelas. Daripada sosok 'Tuhan' yang tinggal ketok palu lalu semua auto ampunan, sosok Tuhan yang kedua adalah yang jauh lebih Pengampun dan Penyayang.
(fb)