Kabinet Mandi Susu

Catatan Made Supriatma:

Kabinet gemoy yang baru dilantik belum sebulan lalu sudah mulai bekerja. Dan, bagi saya, yang menarik adalah bahkan sebelum mulai bekerja beberapa diantara mereka sudah mulai kerja besar, yakni berkeluh kesah.

Anda mungkin masih ingat kementerian HAM, yang tampak susah karena cuma dapat anggaran Rp 64 milyar. Mana cukup? Saat ini dia hanya punya 188 staf. Dia bilang, dia perlu 2.544 staf!

"Mana cukup?," katanya seperti istri yang terima gaji bulanan UMR tapi suami mau makan dengan lauk daging setiap hari.

Ada juga menteri transmigrasi. Dia juga mengeluh kurang anggaran. Saat ini dia hanya mendapat Rp 92 M. Sementara di masa Orde Baru anggarannya 5,4 T.

Selain itu, Menko Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) mengeluh bahwa sumber daya manusia Indonesia itu "low quality." Lhah, kok baru tahu sekarang? Dia sudah berada di lingkarang kekuasaan selama 10 tahun dan sekarang mengeluh SDM Indonesia itu low quality?

Kemudian ada lagi keluhan dari kepala Badan Gizi Nasional. Dia bilang ada orang jadi broker atau makelar dari program makan siang gratis yang menjadi 'flagship' pemerintahan sekarang ini.

Lha iyalah. Problem utama program seperti ini adalah para pemburu rente (rent-seekers). Itu jelas sekali. Satu piring makanan untuk anak-anak sekolah itu komponennya banyak sekali: nasi, sayur, tempe tahu, daging, ikan, dan lain sebagainya. Belum lagi cara menghidangkannya, bisa baki, bisa kertas sekali pakai.

Itu semua duit! Itu semua ada yang mensuplai dan di setiap item itu ada keuntungan. Ada keuntungan yang adil -- orang kerja beneran dan menyediakan apa yang dijanjikan dalam kontrak. Ada yang hanya ongkang-ongkang kaki, punya ijin, terus jual ijinnya ke orang lain dengan keuntungan.

Misalnya, sampeyan dapat ijin suplai beras satu provinsi Jawa Tengah. Sampeyan tawarkan pada pengusaha beras, minta komisi 20%, selesai. Nggak usah kerja. Ini uang gampang, bos! [Dalam hal ini saya menirukan cara bicara para politisi]

Seorang kepala Badan Gizi Nasional harusnya sudah tahu soal begituan dan sudah menanganinya sejak awal. Itu yang pertama kali harus dikerjakan. Bagaimana mengamankan suplai bahan-bahan untuk makanan ini. Kalau nggak, ya akan dimangsa di setiap tikungan. Jangankan beras, bahan seperti wortel, merica, garam, dll. itu duit, bos!

Sementara, ada hal-hal cukup mencengangkan terjadi di tingkat supplier sekarang ini. Anda mungkin sudah dengar bahwa harga wortel di tingkat petani terjun bebas. Petani wortel di Banjarnegara tetap panen wortelnya sekalipun harga Rp 300 per kg. Mereka pakai untuk pakan ternak. Hal yang sama terjadi dengan tomat, cabai, dan beberapa komoditi lain.

Beberapa hari lalu saya ke Pasar Niten di dekat rumah saya. Semua pedagang mengeluh. Sekarang sepi. Tidak ada pembeli.

Sementara, di Boyolali, Jawa Tengah para peternak yang mensuplai susu mendapati susunya tidak dapat diserap pabrik. Mereka tidak bisa menyimpan susu-susu itu. Selain itu, mereka terjerat dengan tagihan pajak dari negara yang jumlahnya ratusan juta.

Apa yang mereka lakukan? Mereka protes dengan memakai susu itu untuk mandi. Beberapa 'orang sok bijak' di media sosial mengadili mereka secara moral: kok membuang-buang yang bisa dimakan? Kan lebih baik disumbangkan untuk orang miskin?

Tak semudah itu ferguso. Susu itu gampang sekali rusak. Sebelum sampai di konsumen, dia harus diproses (pasteurisasi) dan lain sebagainya. Apa ya orang-orang sok bijak ini mau nanggung ketika orang diare atau bahkan masuk rumah sakit karena minum susu rusak?

Untuk susu, saya kira ada masalah supply chain yang cukup ruwet. Dalam keadaan normal, peternak mensupai ke pabrik; dan karena pabrik ingin suplainya aman, maka dia minta supaya peternak tidak melakukan diversifikasi pasokan. Maka peternak tidak boleh menjualnya ke perusahan lain misalnya ke produsen yoghurt atau keju yang memang banyak juga di Boyolali.

Pabrik sendiri juga bikin yoghurt dan keju ini. Dalam keadaan ekonomi lesu, permintaan konsumen turun, pabrik akhirnya nggak bisa serap produksi. Maka karena tidak ingin kehilangan suplai di masa mendatang, pabrik melakukan pembatasan.

Peternak yang tidak punya daya tawar apapun terhadap pabrik, tinggal bengong aja karena susunya rusak. Mau jual lokal juga serapannya kecil. Ekonomi lesu ini struktural karena berantai kemana-mana dan menghantam semua produsen. Begitu menyedihkan kondisi ekonomi kita sekarang ini.

Namun yang lebih mengherankan untuk saya adalah bahwa tidak ada pembicaraan sama sekali dari Kabinet ini untuk mengatasi situasi ini. Sudah ada? Saya tidak mendengarnya sama sekali.

Media-media membicarakannya. Namun tidak ada reaksi yang terkoordinasi untuk menangani masalah ini. Seharusnya pemerintah segera turun tangan: bikin proyek padat karya sementara untuk menutupi kerugian para petani. Menghapus pajak untuk peternak dan kemudian memikirkan cara terbaik peternak keluar dari situasi ini. Bukankah pemerintah bisa membeli produk pabrik yang bisa disimpan lama sehingga peternak tidak harus memakai susunya untuk mandi?
Padahal kabarnya ini kabinet super kuat. Mayoritas kekuatan ada disini. Saya menyebutnya "Kabinet Kaki Tiga" karena ini adalah penyatuan tiga kekuatan: TNI/Polri - Oligarki dan Parpol - Kaum Kiri. Ini kekuatan luar biasa. Belum pernah ada kaum kanan militeristik bekerja sama dengan kaum Kiri sejak 1965.

Namun mengapa ia seperti bebek lumpuh (lame duck) ketika menghadapi masalah-maslah riil yang dihadapi rakyat kebanyakan? Lalu bagaimana dengan janji Indonesia Emas yang berbusa-busa diomongkan Jokowi, mantan presiden, yang masih cawe-cawe juga sekarang ini?

Kita memang tidak bisa menyalahkan Jokowi lagi. Sekalipun tangannya sangat kuat campur tangan dalam pemerintahan ini baik lewat anaknya maupun gedibal-gedibalnya. Namun, tetap saja. Ini koalisi yang dicitrakan super kuat namun kok seperti lame duck?

Ataukah memang situasi ini sengaja dibuat demikian? Kita tidak tahu bahwa kita harus minta tanggung jawab kepada presiden yang sekarang menjabat. Namun kita juga tahu bahwa presiden ini berkali-kali harus menghadap ke presiden lama.

Kita harus keluar dari situasi ini. Kalau tidak, rakyat yang menjadi korban.

(fb)
Baca juga :