HTI: Kenaikan PPN 12% merupakan kezaliman di atas kezaliman, bahkan dalam Islam memungut PPN itu haram

"Penaikan pungutan pajak pertambahan nilai (PPN) merupakan kezaliman di atas kezaliman. Pasalnya, dalam Islam, memungut PPN walaupun hanya 1 persen hukumnya haram. Apalagi dinaikkan sampai 12 persen.

(Joko Prasetyo, aktivis HTI)

***

Berbagai Elemen Masyarakat Menolak Kenaikan PPN 12%

Rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 mendapat penolakan dari banyak pihak.

Petisi menolak kebijakan tersebut pun sudah muncul.

Petisi dimaksud dibuat dan dibagikan oleh akun X @barengwarga pada Selasa (19/11) silam. Dalam cuitannya, akun itu menuntut pemerintah untuk segera membatalkan kenaikan PPN.

"Kenaikan PPN tersebut secara langsung akan membebani masyarakat karena menyasar barang-barang kebutuhan pokok. Kalau keputusan menaikkan PPN itu dibiarkan bergulir, mulai harga sabun mandi sampai bahan bakar minyak (BBM) akan ikut naik. Otomatis daya beli masyarakat akan terganggu dan kesulitan memenuhi kebutuhan hidup," bunyi cuitan akun tersebut.

Penolakan keras juga disampaikan oleh kalangan buruh. Partai Buruh dan Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) mengancam akan mogok kerja apabila kebijakan yang menyengsarakan rakyat itu tidak dibatalkan.

"Jika pemerintah tetap melanjutkan kenaikan PPN menjadi 12 persen dan tidak menaikkan upah minimum sesuai dengan tuntutan, KSPI bersama serikat buruh lainnya akan menggelar mogok nasional yang melibatkan 5 juta buruh di seluruh Indonesia," kata Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI Said Iqbal, Selasa (19/11).

Said Iqbal menilai rencana pemerintah menaikkan PPN akan memperparah kondisi ekonomi masyarakat kecil. Buruh memprediksi kenaikan PPN akan menurunkan daya beli secara signifikan dan mengakibatkan kesenjangan sosial yang lebih dalam.

Selain itu juga menjauhkan target pertumbuhan ekonomi yang diharapkan mencapai 8 persen.

Said Iqbal berpendapat kenaikan PPN menjadi 12 persen juga akan berdampak langsung pada kenaikan harga barang dan jasa.

Sementara itu, kata dia, kenaikan upah minimum yang mungkin hanya berkisar 1-3 persen tidak cukup untuk menutup kebutuhan dasar masyarakat.

"Bagi Partai Buruh dan KSPI, kebijakan ini mirip dengan gaya kolonial yang membebani rakyat kecil demi keuntungan segelintir pihak," tegas dia.

Pengusaha turut mengungkap dampak ngeri apabila PPN naik menjadi 12 persen.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (GAPMMI) Adhi S Lukman mengatakan meski PPN hanya naik 1 persen, dampaknya bisa langsung terasa ke harga makanan dan minuman. Harga makanan dan minuman bisa naik 2-3 persen.

"Dampaknya besar sekali karena kenaikan 1 persen itu akan dirasakan oleh konsumen. Apalagi FMCG (fast moving consumer goods) pangan itu price sensitif. Picu kenaikan harga 2 sampai 3 persen yang harus dibayar konsumen," ungkap Adhi dikutip CNBC Indonesia, Rabu (13/11).

Sementara itu, Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Budihardjo Iduansjah mewaspadai skenario lebih buruk lagi. Ia mendengar masyarakat mengancam akan berhenti mengkonsumsi barang karena besarnya kenaikan harga akibat kenaikan tarif PPN pada 2025.

"Yang saya dengar sih bukan borong, malah boikot. 'Udah nggak usah beli barang'. Sebenarnya itu kan enggak baik, karena konsumsi itu kan harus semua orang belanja. Kalau semua orang saving, enggak bergerak ekonominya," kata Budihardjo.

Budi memperkirakan kenaikan PPN akan membuat harga barang naik sekitar lima persen hingga ke tangan konsumen.

"Dari pabrik naik 12 persen, distributor bisa tambah 1 persen, sub-distributor naik lagi 1 persen, ritel juga tambah 1 persen. Kalau dihitung-hitung, kenaikan harga di tingkat konsumen bisa sampai 5 persen," tutur dia.

Pemerintah Bisa Menurunkan PPN jadi 5%

Wakil Ketua Komisi XI DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (PDIP) Dolfie Othniel Frederic Palit menyebut PPN 12 persen di awal 2025 bisa ditunda tanpa perlu mengubah Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Penundaan itu bisa dilakukan pemerintah jika mau.

"Undang-undang pajaknya enggak perlu diubah karena di Undang-undang itu sudah memberikan amanat ke pemerintah. Kalau mau turunin tarif boleh, tapi minta persetujuan DPR," kata Dolfie.

Kenaikan PPN menjadi 12 persen di 2025 merupakan amanat Pasal 7 ayat 1 UU HPP.

Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengubah tarif PPN menjadi paling rendah 5 persen dan maksimal 15 persen melalui penerbitan peraturan pemerintah (PP) setelah dilakukan pembahasan dengan DPR.

"Berdasarkan pertimbangan perkembangan ekonomi dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, tarif PPN dapat diubah menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen," bunyi Pasal 7 ayat 3 UU PPN.

Baca juga :