"Kita pernah punya Bimantara. Pernah punya Timor. Pernah juga punya SMK yang sangat legendaris. Semua nasibnya gak jelas. Dua yang pertama sudah kolaps. Jangankan bersaing di luar negeri. Di dalam negeri saja babak belur. Yang terakhir malah gak sempat bankrut karena gak ada wujudnya. Apa Anda yakin kali ini kita akan sukses?"
"Yakin sekali. Yakin karena bapak yang punya program."
"Luar biasa. Tapi bisakah dijelaskan secara logis, mengapa Anda begitu yakin? Apakah karena infrastrukturnya sudah siap? Apakah tim risetnya sudah ada? Atau mungkin pabriknya sudah berdiri di mana gitu? Strategi marketing, pangsa pasar, dan purna jualnya apa sudah dipikirkan juga?"
"Kayaknya belum sih. Nggak tau juga. Tapi saya tetap yakin karena sudah terbukti bahwa bapak adalah orang yang paling ikhlas."
***
Membangun industri otomotif, terutama mobil, tidak bisa cuma pakai modal semangat nasionalisme, 'karya anak bangsa', 'optimis', dan jargon-jargon sejenis.
Selain di proses riset dan produksi yang rumit, pemasaran dan mengelola aftersale (purna jual)-nya juga tidak mudah. Menjual mobil yang sudah bermerek saja tidak gampang, apalagi mobil baru. Tantangan penjualan mobil biasanya di seputaran ini: faktor keselamatan; harga; daya tahan produk; pemasaran (jaringan dealer); dan purna jual, termasuk di dalamnya servis, ketersediaan sparepart, dan harga jual kembali yang biasanya jadi pertimbangan utama konsumen mobil di Indonesia.
RRC yang sudah terbukti sebagai negara serba bisa, bisa memproduksi dan bisa menjual apapun, masih berdarah-darah kok industri mobilnya. Dari ratusan merek, hanya satu dua yang bisa bertahan. Itu pun hanya di segmen mobil listrik, yang persaingannya tidak seketat mobil konvensional.
Padahal kurang apa nasionalisme rakyat RRC? Kurang kuat gimana lagi jaringan pemasaran mereka? Daya tahan produk-produk RRC juga sudah jauh lebih baik dibanding 10-20 tahun lalu. Harga? Dengan spesifikasi lebih bagus, harga mobil RRC jauh lebih murah. Tapi ya tetap saja kesulitan mendobrak merek-merek yang sudah mapan. Jangankan merek-merek dari Jepang. Menggusur brand dari Korsel saja masih belum sanggup.
Saya tidak meragukan kemampuan orang Indonesia membuat mobil. Jangankan mobil, membuat pesawat saja bisa kok. Tapi apa kita tidak belajar dari IPTN? Bisa bikin tapi tidak bisa jual. Akhirnya pesawat jadi ketan.
Tapi kalau tetap mau optimis ya monggo sih. Silakan bereuforia dengan semangat nasionalisme dan kebanggaan semu akan karya anak bangsa. Silakan tuduh mereka yang pesimis seperti saya sebagai antek asing.
Saya sih realistis saja. Cukup belajar dari SMK, yang tahun 2013 sudah dipesan 6000an dan kita hanya bisa produksi 200 unit per bulan, tapi wujudnya satu pun belum terlihat di jalanan sampai sekarang, di akhir tahun 2024.
Sebelum bermimpi muluk-muluk, coba berantas dulu korupsi dan perbaiki kualitas pendidikan kita. Menjadi bangsa yang cerdas dan bersih juga bisa membanggakan lho. Percuma bisa bikin ini itu tapi maling di mana-mana, dan IQ rata-rata warganya hanya sedikit di atas simpanse.
(By Wendra Setiawan)