Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Untuk menjadi anggota DPR, dibutuhkan biaya minimal Rp80 miliar. Menurut ICW dan Perludem (Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi), hal ini membuat demokrasi kita sarat praktik transaksional dan aliran dana kampanye dari sumber ilegal (Kompas, 4/10/2024).
Anda mau melawan oligarki?
Harta Ketua DPR, Puan Maharani (2024), mencapai Rp552,8 miliar. Dengan asumsi semua faktor lain tetap sama, jumlah itu cukup untuk mengikuti pileg setidaknya tujuh kali.
Putra bungsu SBY, Ibas Yudhoyono, memiliki kekayaan sebesar Rp317,4 miliar. Itu cukup untuk mengikuti pileg empat kali.
Lalu bagaimana dengan Ketua MPR, Ahmad Muzani? Kekayaannya 'hanya' Rp59 miliar, tapi ia bisa menjadi anggota dewan. Siapa yang membiayai, ya?
Gibran Rakabuming Raka, dengan kekayaan Rp25 miliar, bahkan bisa jadi wakil presiden. Apakah 'harga' wapres lebih murah dibandingkan menjadi anggota DPR?
Pertanyaan-pertanyaan ini hanyalah renungan awam. Tidak perlu jawaban yang presisi, sama halnya seperti kita tidak perlu jawaban pasti tentang seberapa dalam dan absurd rasa malu seorang politisi.
Begitulah hidup.
Jika dihitung secara kasar, untuk 'balik modal' dari biaya Rp80 miliar, seorang anggota DPR perlu 'menghasilkan' Rp16 miliar per tahun, atau sekitar Rp1,3 miliar per bulan.
Jika Rp80 miliar dianggap sebagai modal awal investasi untuk lima tahun dengan target return 20% per tahun, maka setiap anggota DPR harus 'bekerja lebih keras' agar modal itu berkembang menjadi Rp199,07 miliar, dengan keuntungan sebesar Rp119,07 miliar.
Dengan APBN mencapai Rp2.000 triliun per tahun, potensi ekonomi selama lima tahun masa jabatan anggota dewan mencapai Rp10.000 triliun. Bisa dibayangkan, betapa lezatnya posisi sebagai anggota DPR yang memiliki wewenang dalam pengesahan anggaran. Bukan hanya balik modal, bahkan cukup untuk membiayai lima pemilu ke depan, atau hingga usia manusia habis.
Intinya: berkuasa itu nikmat. Maka, satu periode jabatan tidak akan pernah cukup. Kalau bisa, kenapa tidak semaksimal mungkin? Ini berlaku juga untuk pemerintah. Jika bisa jadi presiden dua periode, kenapa tidak?
Di luar kekuasaan, itu melelahkan. Tidak memegang jabatan itu nelongso. Main golf dibayari itu nikmat. Bola tenis yang nurut itu menyenangkan. Bahkan, saya sejujurnya berharap Banteng sepenuhnya masuk ke pemerintahan agar koalisi penguasa genap 100%. Pertimbangannya? Tentu saja, kenikmatan-kenikmatan tersebut.
Lagi pula, orang Indonesia mungkin lebih peduli bansos ketimbang prinsip check and balances lembaga negara.
Eksistensi 100% koalisi penguasa niscaya akan mempercepat dan mempermudah proses 'pengudusan' politik secara alami. Menurut KBBI, 'kudus' berarti murni, yang menunjukkan adanya pemisahan untuk tujuan suci.
Maka, pejabat-pejabat yang kotor harus dipisahkan dari rakyatnya. Siang harus dipisahkan dari malam. Gelap harus dipisahkan dari terang. Sehingga, keberadaan negara menjadi masuk akal: untuk melindungi rakyat dari terkaman pejabat-pejabatnya sendiri yang jahat dan korup.
Salam.