Catatan Agustinus Edy Kristianto:
Sampai hari-hari terakhir kekuasaannya, ‘guru bangsa’ seakan tak henti memberikan pelajaran. Kali ini, lewat heboh soal kanda menteri yang baru saja meraih gelar doktor nikel dalam 20 bulan cum laude dari universitas negeri terkemuka di bilangan ‘elite’ Pondok Cina, Kota ‘religius’ Depok.
Apa pelajarannya? Kalau mau tegak lurus dengan Pak Mulyono, harus 100% lurus! Suwarga nunut, neraka katut. Jangan belok-belok, jangan kebanyakan ‘kreativitas’. Jangan juga ambisi yang berlebihan. Melanggar prinsip ini hanya akan berujung caci maki, seperti yang kita lihat sekarang.
Saya nggak tahu, dan jujur saja nggak ingin tahu, soal aturan internal buat dapat gelar doktor. Tapi, diakui atau tidak, hukum permintaan-penawaran (supply-demand) tetap berlaku. Kita masih saja mengukur kepandaian dari berapa panjang gelar di belakang nama. Sudah kaya dan berkuasa pun rasanya nggak lengkap tanpa deretan gelar akademis.
Beberapa waktu lalu, seorang pejabat tinggi negara bilang dia ingin gelar doktor buat membanggakan keluarga dan teman. Ironis, tujuan bergelar doktor hanya buat memuaskan ego pribadi, bukannya buat kontribusi ilmiah.
Sekarang kita meledek ‘Universitas Instan’, tapi bukankah sudah lama kita menyindir ‘UNiversitas PAsti Doktor’? Hasilnya? Lingkaran setan! Nanti nggak heran kalau kita bakal meledek ‘Institut Tinggal Bilang’, ‘Universitas Gajah Minta’, atau ‘UNiversitas DIPersilakan’ kalau makin banyak dugaan gelar instan untuk tokoh terkenal lewat jalur orang dalam.
Raffi Ahmad mungkin lebih visioner dari kita. Dia sudah membaca tanda-tanda zaman bahwa reputasi perguruan tinggi dalam negeri makin merosot, makanya dia ambil gelar doktor di Thailand—meski tetap saja kena olok-olok.
Kalau Raffi mau lebih strategis, sebenarnya dia bisa aja dapat gelar doktor terhormat dari ‘UNiversitas CENtang biru’, karena followers IG calon staf khusus presiden bidang ekonomi kreatif itu sudah lebih dari 76 juta.
Kembali ke kanda menteri doktor nikel 20 bulan. Masalahnya bukan cuma soal melanggar prinsip “tegak lurus,” tapi juga bukti ketidakmampuannya memahami cara berpikir seorang raja Jawa yang ia sebut ngeri-ngeri sedap dan orang disuruh hati-hati terhadapnya supaya tidak celaka itu.
Kanda mungkin sudah sukses mempopulerkan istilah raja Jawa yang hampir punah lewat pidato fenomenalnya di munas partai, tapi ia belum sampai pada tahap membaca situasi kosmos dengan ‘mata batin’ (maaf kalau terdengar agak klenik) bak seorang raja Jawa.
‘Mata batin’ tidak butuh gelar akademis tinggi-tinggi. Presiden Mulyono tetap insinyur kehutanan, menolak gelar doktor kehormatan dari UI dan 21 lembaga lainnya pada 2018. Begitu pula Presiden Soeharto yang menolak gelar doktor kehormatan dari UI pada 1975.
Faktanya? Presiden Soeharto 32 tahun berkuasa. Presiden Mulyono 10 tahun. Tetap awet tanpa gelar doktor.
‘Mata batin’ Pak Mulyono mungkin sudah tahu lebih dulu (weruh sadurunge winarah), kalau kanda yang pembantunya saja bisa dapat doktor dalam 20 bulan, apalagi dia… Kalau ‘negara saja adalah dia dan keluarganya’, apalagi cuma UI?
Tahu batas itu penting, apalagi tahu diri. Sudah kaya, berkuasa, dihormati, mentereng, punya segalanya… Masak masih ingin unggul juga di bidang ilmiah-akademis? Orang boleh, kok, mengambil kursi ketua umum partai tapi, mbok, ya, domain ilmiah-akademis andalan peneliti BRIN dkk jangan juga digasak. Berbagilah!
Andai saya yang nggak akademis ini boleh kasih masukan, alangkah lebih baik kalau kanda belajar ‘mata batin’ dengan mengamati jalur angkot di sekitar Lenteng Agung menuju Depok, tempat STIH Prof. Gayus Lumbuun berdiri. Setidaknya contohlah cara politisi lain meski berseberangan. Sadarilah bahwa ternyata perguruan tinggi pun bisa pakai nama tokoh yang masih hidup, bahkan memimpin gugatan pencawapresan Gibran di PTUN.
Daripada bikin keributan seantero negeri dan merusak reputasi UI yang dijaga puluhan tahun, bukankah lebih masuk akal dengan kekuasaan dan logistik yang ada, kanda mendirikan perguruan tinggi atas nama sendiri dan memberikan gelar doktor kepada diri sendiri? Rasanya mustahil seorang menteri yang paling berwenang menerbitkan IUP (izin usaha pertambangan) tak cukup kuasa dan logistik untuk itu semua.
Banyak pelajaran dari kasus kanda menteri doktor nikel 20 bulan ini, terutama menjelang pergantian kekuasaan. Saya yang sering mengkritik Presiden Mulyono saja masih ingat satu pelajaran penting darinya tentang fokus. Masak kanda yang menyiarkan “tegak lurus” malah lupa?
Kalau mau tegak lurus Pak Mulyono, mestinya fokus pada dua hal saja seperti beliau: bansos dan masa depan anak (sebab kalau fokus pada dua hal kunci, yakni 90% keberhasilan pembangunan infrastruktur dan 10% keberhasilan kesejahteraan masyarakat, itu adalah fokus arahan untuk buzzer-buzzer pegiat tagar #patenjokowi dan #melesatprabowo).
Bansos, terutama fokus pada jumlah, waktu, tempat, dan cara pemberitaan tentang manfaatnya bagi pemilih di dapil; masa depan anak, terutama ‘kejelian’ melihat celah aturan pencawapresan, menangkal kritik dengan menudingnya sebagai ujaran kedengkian, memahami komposisi mahkamah, serta ‘reformasi sistem kepartaian’ dan ‘kaderisasi partai’. Dalam hitungan hari, seorang anak yang bukan kader bisa jadi ketua umum dan naik jet pribadi teman bapaknya.
Demikianlah kekuatan 'mata batin'.
#melesetpakmulyono
Salam.
(Agustinus Edy Kristianto)