SINDROM TAKUT PENSIUN JOKOWI

Di akhir masa jabatannya, alih-alih mempermudah transisi, ia malah membuat kebijakan yang akan membebani pemerintahan Prabowo.

Kekuasaan Jokowi akan berakhir pada 20 Oktober nanti, akan tetapi praktik cawe-cawe—juga turne dan tebar pesona kepada publik—yang dijalankannya meyakinkan banyak orang: ia tidak ingin kehilangan cengkeraman di pemerintahan baru nanti.

Beberapa bulan menjelang lengser, dia melakukan banyak hal yang tak seharusnya ia lakukan sebagai presiden yang segera pensiun.

Ia, misalnya, mencopot menteri yang tidak mendukung koalisi pemilu yang memenangkan pasangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, anaknya.

Ia menciptakan pos baru dalam kabinet: Badan Gizi Nasional dan Kantor Komunikasi Kepresidenan. Ia cawe-cawe dalam penetapan calon komisioner KPK.

Dalam hal yang pertama, Jokowi ingin memberi kesan bahwa ia “mengamankan” pemerintahan baru: politikus PDIP di kabinet ia copot.

Pembentukan lembaga baru di kabinet boleh jadi juga dilakukan untuk tujuan serupa: memuluskan jalan presiden terpilih. Sepintas mulia, Jokowi sesungguhnya sedang mendikte Prabowo.

Dalam posisinya sebagai menteri Jokowi, sulit dibayangkan Prabowo punya suara dalam penentuan penggantian anggota kabinet.

Seusai pelantikan 20 Oktober nanti, bisa kita bayangkan betapa kikuk Prabowo bersikap terhadap pos dan pejabat baru yang telah ditetapkan Jokowi.

Cawe-cawe kian merepotkan dalam perkara pemilihan komisioner KPK periode 2024-2029. 

Jokowi memulai proses pemilihan di KPK pada Mei lalu dengan membentuk panitia seleksi yang didominasi orang-orang yang dikenal dekat dengan Istana.

Sejatinya kewenangan memilih pimpinan baru KPK menjadi hak Prabowo Subianto. 

Alasan Istana soal singkatnya waktu bagi presiden terpilih sehingga mesti diambil Jokowi sangat mengada-ada dan berpotensi melanggar aturan.

Upaya Jokowi memaksakan percepatan pemilihan pimpinan KPK patut dicurigai sebagai upaya pengamanan diri dan keluarga saat ia tidak menjadi presiden lagi.

Melewati dua periode pemerintahan dengan beragam dugaan penyimpangan, Jokowi cemas terhadap KPK yang tidak bisa ia kontrol.

Sebagai pemimpin lame duck (bebek lumuph) —istilah dalam khazanah ilmu politik untuk presiden yang kekuasaannya segera berakhir—Jokowi seharusnya tidak mengambil kebijakan strategis.

Fatsun ini selayaknya dijalankan agar presiden baru leluasa mengatur pemerintahannya tanpa tersandera oleh keputusan menit-menit terakhir presiden lama.

Penghormatan Jokowi kepada presiden terpilih harus ditunjukkan jika tak ingin dicap sebagai pengidap post-power syndrome.

(Sumber: TEMPO)
Baca juga :