REKAYASA KEMERIAHAN MENYAMBUT KEPULANGAN JOKOWI

DENGAN segudang catatan merah selama menjadi presiden, tak selayaknya Joko Widodo dilepas dengan gegap gempita. Apalagi pelepasan tersebut sampai memobilisasi siswa sekolah dasar dan menengah. Selain tidak pantas, hal tersebut menunjukkan bahwa kemeriahan tersebut direkayasa.

Pengerahan murid terjadi di Jakarta dan wilayah Solo Raya, kampung Jokowi dan keluarga. Di Jakarta, dinas pendidikan membuat imbauan dalam surat edaran ke sekolah-sekolah. Adapun di Solo, ribuan anak sekolah dikerahkan berdasarkan instruksi penjabat Wali Kota Surakarta. Di Karanganyar, yang bertetangga dengan Solo, dinas pendidikan meminta ribuan siswa berjejer sambil mengibar-ngibarkan bendera kecil di jalan menyambut kepulangan Jokowi setelah tak lagi menjadi presiden. Di kota ini, guru dan pegawai negeri kecil juga diperintahkan untuk meramaikan penyambutan tersebut.

Jumlah siswa yang dikerahkan bisa lebih besar jika kegiatan serupa di Bogor tak dibatalkan. Semula, Dinas Pendidikan Kota Bogor mengeluarkan surat edaran ke sekolah-sekolah yang mengimbau pengerahan siswa. Rencananya, ribuan anak sekolah dasar dan menengah berdiri di sepanjang jalan untuk melepas Jokowi dari Istana Bogor menuju jalan tol Jakarta-Bogor.

Mobilisasi antusiasme melepas dan menyambut Jokowi tak akan menutupi fakta selama ia memerintah. Lihatlah apa yang diperbuat Jokowi selama dua periode. Ia mengamputasi lembaga-lembaga pengontrol eksekutif: Dewan Perwakilan Rakyat menjadi tukang stempel kebijakannya, Komisi Pemberantasan Korupsi dilemahkan, dan Mahkamah Konstitusi berada di bawah kontrol kekuasaan. Peringkat dan skor demokrasi dalam indeks yang dirilis banyak lembaga malah lebih buruk dari tahun pertama Jokowi menjabat. Puncaknya adalah campur tangan dia dalam memenangkan putranya menjadi wakil presiden.

Sukses menjadikan negara ini bercorak legalisme otokratik, Jokowi juga gagal membawa ekonomi tumbuh lebih tinggi. Rata-rata pertumbuhan ekonomi tiap tahun dalam satu dasawarsa terakhir hanya 4,73 persen, jauh di bawah masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang mencapai 6,22 persen. Dalam lima tahun terakhir, jumlah kelas menengah juga turun dari 21 persen menjadi 17 persen, antara lain akibat tingginya angka pemutusan hubungan kerja.

Proyek infrastruktur yang menjadi kebanggaan Jokowi juga sarat masalah. Perusahaan pelat merah yang mengerjakan proyek-proyek mercusuar banyak yang terlilit utang. Pada masanya, utang pemerintah mencapai rekor tertinggi sebesar Rp 8.461 triliun atau 38,49 persen produk domestik bruto. Daftar kerusakan yang ditimbulkan Jokowi akan makin panjang jika diurutkan satu demi satu.

Perayaan besar-besaran merupakan upaya memanipulasi kenyataan. Hal ini juga yang terjadi setelah ia dilantik pada 2014. Berdiri di atas kereta kencana, ia diarak ribuan orang dari Bundaran HI ke Istana, seakan-seakan sebagai “presiden rakyat”. Pendukungnya menggelar berbagai acara, termasuk konser yang dinamai Pesta Rakyat di Monas. Dengan latar belakang dan citranya, pada saat itu ia seolah-olah membawa harapan.

Pelepasan ataupun penyambutan tak akan meningkatkan legitimasi. Demikian halnya operasi memoles citra pada hari-hari terakhir Jokowi lewat konten media sosial, pidato menteri yang penuh puja-puji, dan berita-berita “harum”. Untuk sesaat kita mungkin terpapar, tapi kemudian sadar bahwa itu adalah ilusi. Pada akhirnya, Jokowi akan dikenang sebagai presiden yang berlumur catatan buruk.

(Sumber: Editorial Koran TEMPO, Senin, 21 Oktober 2024)

[NIH BOCOR ALUS TEMPO KASIH BOCORAN]
Baca juga :