Orang bodoh berkata, "Saya sepakat dengan Guru Gembul, bahwa agama itu tidak bisa dirasionalkan. Coba rasionalkan, mengapa babi itu haram?"

Oleh: Ustadz Muhammad Abduh Negara

Orang bodoh berkata, "Saya sepakat dengan Guru Gembul, bahwa agama itu tidak bisa dirasionalkan. Coba rasionalkan, mengapa babi itu haram?"

Pertanyaan si bodoh ini mirip dengan pertanyaan, "Bagaimana merasionalkan isra dan mi'raj?"

Mengapa bodoh? Karena mereka duluan membantah sebelum belajar. Mereka pikir, pertanyaan mereka ini adalah pertanyaan cerdas yang tak mampu dijawab. Padahal pertanyaan dari si bodoh, yang jika dijawab pun, karena kebodohannya, dia tetap tidak paham.

Bagaimana merasionalkan ada manusia yang bisa naik dengan fisiknya sampai langit ketujuh, terus naik ke suatu tempat yang bernama Sidratil Muntaha, kurang dari satu malam?

Mereka berpikir, merasionalkan di sini haruslah mampu menjelaskannya dari sisi fenomena fisika, atau kemungkinan-kemungkinan yang bisa diterima secara fisika. Dan ini sudah salah duluan. Peristiwa isra mi'raj adalah umuur ghaibiyyah (perkara ghoib) sekaligus khawariq lil 'adah (hal yang bertentangan dengan 'adah/adat/kenormalan manusia pada umumnya), termasuk 'adah di sini adalah hukum-hukum fisika.

Lalu bagaimana merasionalkannya?

Saya tidak ingin terjebak dengan istilah "rasional" di sini, karena khawatirnya malah debat pada istilah, yang tidak terlalu urgen. Saya coba menjelaskan dulu, apa yang kita inginkan di sini. Yang kita inginkan adalah, "Bagaimana akal kita bisa menerima bahwa peristiwa isra mi'raj itu benar adanya?"

Jawaban ringkasnya, karena yang menyampaikannya adalah sosok yang informasi yang beliau bawa pasti benar adanya, melalui berbagai bukti yang telah terlihat, sejak beliau belum menerima risalah sampai setelah menerima risalah. Karena itu, Abu Bakar langsung menerima informasi tersebut.

Peristiwa Isra Mi'raj ini juga disampaikan dalam al-Qur'an, yang merupakan Kalam Allah yang pasti benar informasinya. Dari mana kita tahu al-Qur'an adalah Kalam Allah, dari berbagai bukti yang menunjukkan secara pasti bahwa ia adalah Kalam Allah, dan bukan Kalam selain-Nya.

Yang saya sebut "bukti" ini, penjelasannya ada di mana? Ada di kitab-kitab aqidah, 'ulumul Qur'an, dan lainnya. Banyak dan berlimpah sekali, seandainya mereka mau baca.

===

Berikutnya, "Mengapa babi haram?"

Persoalan babi haram ini konteksnya hukum, perintah dan larangan. Dan dalam konteks hukum, yang diperlukan adalah ketaatan dan tsiqah kepada pihak yang menetapkannya.

Mari kita buat ilustrasi, "Si A mengklaim bahwa dia adalah bos tertinggi anda di perusahaan X, dan anda sebagai karyawan baru belum mengenalnya. Dan dia memberi anda berbagai tugas untuk dikerjakan." Maka anda perlu melihat berbagai bukti berupa indikasi, yang menunjukkan bahwa si A memang adalah bos tertinggi anda, misal dengan melihat kantornya, sikap karyawan lain termasuk atasan anda terhadapnya, dan berbagai indikasi lainnya.

Jika sudah terbukti dia adalah bos tertinggi anda, maka semua tugas yang diberikan kepada anda yang merupakan karyawan baru ini, adalah sebuah kehormatan, sekaligus peluang untuk naik jenjang karir. Dan selama anda percaya bahwa tugas bos anda ini sudah berdasarkan pertimbangan matang, dan tidak bertujuan menyulitkan apalagi mencelakakan anda, maka anda akan mengerjakannya dengan senang hati.

Kembali, "Mengapa babi haram?", maka yang perlu anda jawab dulu adalah, siapa yang mengharamkan makan babi? Jawabannya adalah Allah ta'ala, Rabb kita, yang Maha Mengetahui dan Maha Memiliki Hikmah.

Pertanyaan mendasarnya, apakah betul Allah itu Tuhan kita? Apakah betul, Allah itu benar-benar ada? Ini semua yang perlu dijawab melalui penalaran akal (dalil-dalil aqli). Dan ini bisa ditemukan jawabannya secara terperinci, di berbagai kitab aqidah dan lainnya.

Setelah diketahui, bahwa Allah itu benar-benar ada, dan Dia benar-benar Rabb kita, selanjutnya bagaimana dengan nama dan sifat-Nya? Kita bisa temukan itu melalui jalur naql (wahyu). Apa yang dia perintahkan dan larang? Kita dapatkan juga melalui naql.

Setelah ini jelas, maka kita katakan, babi haram karena Allah yang mengharamkannya, dan kita mengikutinya sebagai bentuk ketaatan kepada-Nya. Ini prinsip dasar dalam menyikapi perintah dan larangan. Seandainya Allah melarang kita memakan lemak sapi dan domba, kita pun juga akan menaatinya.

Jadi pada dasarnya, sisi yang perlu dinalar pada konteks perintah dan larangan, bukanlah tentang apa yang dilarang, tapi siapa yang memerintahkan dan melarang. Apakah yang memberi perintah dan larangan ini punya otoritas untuk itu. Apakah Dia jauh lebih mengetahui yang baik dan buruk bagi kita. Dan seterusnya. Dan semua ini sudah terjawab.

Jadi, mau babi, mau lemak sapi, dan apapun, selama yang mengharamkannya adalah entitas yang Maha Tahu dan Maha Memiliki Hikmah, sekaligus Pencipta kita dan alam semesta, maka kita ikuti dan taati. Sisi yang bisa dipahami lewat akalnya adalah, "Yang mengharamkan ini bukan makhluk yang serba terbatas, tapi Khaliq yang Maha Tahu dan Maha Memiliki Hikmah".

Sebenarnya, pada titik ini, bagi orang yang tidak ngeyel, tentu sudah terjawab.

Jika kita ingin lanjutkan, kita akan bicara tentang 'illah (sebab) dan hikmah. 'Illah bisa diartikan, alasan berlakunya hukum, dan hikmah bisa diartikan kemaslahatan yang didapatkan dari berlakunya hukum. Untuk pendalaman tema ini, silakan baca kitab-kitab ushul fiqih.

Sebagian ulama menyatakan, 'illah dari keharaman babi adalah, karena ia rijs dan khabits. Dua hal ini bisa dimaknai sebagai, hal yang tidak baik, yang melahirkan keburukan, bagi kesehatan, atau harta, atau akhlak. Sedangkan hikmah di balik keharaman babi, menurut sebagian peneliti adalah karena ia berpotensi menimbulkan penyakit, dll., yang bisa anda baca di berbagai artikel kesehatan.

Namun perlu dipahami, hikmah di sini, bukanlah sesuatu yang disebutkan secara langsung dalam nash, namun hanya upaya sebagian peneliti dalam mencari hikmah dari keharaman nash tersebut. Jika valid, ia bisa menjadi penguat. Jika tidak valid, maka itu tidak berpengaruh terhadap keharaman yang sudah jelas.

===

Diin Islam adalah diin yang kebenarannya bisa dibuktikan secara ilmiah, bukan sekadar indoktrinasi yang dipaksakan pada kita untuk diterima. Namun ilmiah di sini, tidak berarti bahwa semua unsur agama ini bisa dinilai secara saintifik, hukum fisika, dan semisalnya. Yang dimaksud ilmiah di sini adalah, kita bisa sampai pada hakikatnya dengan bukti-bukti yang membuat kita tidak bisa menolaknya sebagai sebuah kebenaran. Dan sumber ilmiah ini ada tiga: indra, akal dan khabar shadiq (dan wahyu/naql adalah salah satu contoh Khabar shadiq).

Dalam perkara-perkara yang bisa diindra, kita bisa gunakan panca indra kita untuk menemukan kebenaran. Dalam perkara-perkara yang ma'qul, kita bisa gunakan penalaran akal, dan para ulama sepakat bahwa adanya Allah (wujudullah) itu perkara yang ma'qul. Dalam perkara-perkara yang tidak bisa diindra dan dijangkau oleh akal, misalnya tentang akhirat, surga-neraka, malaikat, dll., kita bisa temukan kebenarannya via khabar shadiq.

Apa itu khabar shadiq dan mengapa wahyu adalah khabar shadiq? Khabar shadiq adalah khabar (yahtamilu ash-shidq wa al-kadzib li dzatih) yang dipastikan benar, karena ada faktor-faktor yang mendukung hal tersebut, misalnya khabar mutawatir. Misalnya juga, khabar dari dzat wajibul wujud, Rabb semesta alam.

Nah, untuk mengetahui, apakah sesuatu itu benar-benar khabar dari Rabb semesta alam, bisa dibuktikan melalui argumentasi akal. Semuanya sudah dijelaskan di berbagai kitab aqidah. Seandainya tidak karena khawatir kepanjangan, saya bisa tuliskan hal itu di sini.

===

Saya melihat, orang-orang yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan semacam ini, adalah orang yang taqlid buta pada epistemologi Barat, baik disadari atau tanpa disadari. Bagaimanapun pendidikan kita, baik formal, maupun non-formal (seperti via youtube, buku bacaan, dll), memang umumnya mengikuti arah pemikiran ini.

Sekaligus, hampir pasti mereka jauh dari turats ulama. Entah karena memang tidak pernah mengkajinya, atau pernah mempelajarinya tapi tidak benar-benar paham. Ditambah kesombongannya, merasa jauh lebih paham agama ini dibandingkan para ulama. Padahal, jauh panggang dari api.

Kesalahan lain, mereka menganggap agama Islam sama seperti agama lainnya. Ketika agama lain merupakan hasil indoktrinasi, mereka pikir Islam juga demikian. Ini lahir dari ketidakpahaman terhadap Islam dan sejarah umat Islam, serta perbedaannya dengan agama lain dan sejarahnya.

(fb)
Baca juga :