Mohon Maaf, ternyata Natalius Pigai yang benar....

Catatamn Agustinus Edy Kristianto:

Perjuangan kita untuk 'membantu' Menteri HAM dalam mewujudkan impian anggaran Rp20 triliun melalui pengumpulan 'donasi' tampaknya akan sulit terwujud. 

Alasan yang diajukan bahwa anggaran tersebut diperlukan untuk membangun HAM, baik secara fisik maupun nonfisik di Indonesia, masih belum cukup kuat. 

Bahkan jika tujuannya adalah membangun gedung-gedung pusat studi HAM (Pusham) hingga ke pelosok negeri, tetap terasa kurang masuk akal.

Ada dua alasan mengapa saya mengatakan hal tersebut:

1. Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, mengatakan tidak ada kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Menurutnya, pelanggaran HAM berat justru terjadi pada masa kolonial atau pada periode awal kemerdekaan, sekitar tahun 1960-an (Koran Tempo, 23/10/2024).

2. Delapan misi Asta Cita pemerintahan Prabowo tidak mencantumkan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat sebagai program prioritas.

Jika pelanggaran HAM berat tidak ada di Indonesia dan bukan menjadi prioritas pemerintahan saat ini, apa dasar kita meminta Rp20 triliun?

Kalau hanya ada pelanggaran HAM 'kecil-kecilan' seperti tidak terpenuhinya hak-hak dasar yang mencakup hak sipol dan ekosob, saya curiga anggaran Rp64 miliar yang disediakan negara untuk Kementerian HAM saat ini mungkin sudah terlalu besar.

Namun, saya tetap ingin menjadi orang yang gigih. Sebagai warga negara dari 'macan Asia,' kita tak boleh mudah menyerah.

Saya membaca UU 62/2024 tentang APBN 2025 untuk memeriksa apakah ada celah 'fiskal' yang bisa dimanfaatkan untuk membantu Menteri HAM mewujudkan anggaran Rp20 triliun.

Kabar baiknya, negara memang sudah menganggarkan Rp21,2 triliun untuk HAM. Tapi kabar buruknya, anggaran itu untuk nomenklatur lama, yaitu Kementerian Hukum dan HAM. Sekarang kementerian tersebut sudah dipecah menjadi Kementerian Hukum, Kementerian HAM, serta Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan—di bawah koordinasi Menko Yusril.

Pertanyaannya, jika Rp20 triliun diberikan kepada Kementerian HAM, apakah kementerian lain mau menerima sisa Rp1,2 triliun? Rasanya mustahil. Mana ada pejabat yang mau bekerja bakti, bukan?

Namun, saya punya dua solusi. Dalam rezim demokrasi yang santun seperti sekarang, kritik harus disertai solusi. Kritik tanpa solusi berpotensi dianggap mengganggu stabilitas dan kelangsungan negara, serta pelakunya dituding sebagai bagian dari 'barisan sakit hati.' Singkatnya, bagaimanapun caranya, jadilah seorang 'doktor' dan berikan solusi.

Dari dua jenis solusi yang saya ajukan, solusi kedua saya namakan 'solusi alternatif.'

Solusi 1: Pelanggaran HAM berat harus ada terlebih dahulu. Bukan hanya diakui pernah terjadi, seperti yang dilakukan pemerintahan Mulyono, tapi juga didorong hingga pelakunya diadili di pengadilan HAM sesuai amanat undang-undang. Persoalan bahwa pada 2022-2023 sudah diterbitkan Keputusan Presiden tentang penyelesaian nonyudisial, atau bahwa beberapa yang diculik kini menjadi pejabat negara di bawah pemerintahan saat ini, kita kesampingkan.

Jika ini terwujud, maka anggaran Rp20 triliun jadi masuk akal. Selain untuk biaya pegawai dan operasional, anggaran diperlukan untuk menghadapi perlawanan dari kelompok-kelompok yang merasa terancam dengan adanya pengadilan HAM.

Solusi 2 (Alternatif): Jika kita tetap pada posisi bahwa pelanggaran HAM berat itu tidak ada—dan rasa malu pun tak ada—pertanyaannya adalah, "Apa yang masih ada?" Jawabannya: PELANGGARAN ETIKA BERAT. Salah satu pelaku yang terbukti melanggar adalah ketua mahkamah, si paman, yang tugasnya menjadi garda terakhir penjaga konstitusi. Hingga status ini ditulis, putusan tersebut masih berlaku (Putusan Nomor: 2/MKMK/L/11/2023).
Karena kabinet sudah 'gemuk,' dan 'gemuk' adalah sigma---istilah anak sekarang, sekalian saja ditambah satu lagi kementerian: Kementerian Etika. Kementerian ini sangat layak ada—bahkan menurut saya, layak mendapat anggaran Rp20 triliun atau lebih.

Tugas Kementerian Etika sangat berat dan melelahkan. Bukan hanya sekadar membangun gedung pusat studi etika hingga pelosok-pelosok negeri, tapi juga harus menghadapi resistensi internal maupun eksternal dari berbagai pihak. Apalagi, sosok yang secara langsung atau tidak langsung diuntungkan oleh kejadian pelanggaran etika berat ini faktanya bisa menjadi orang nomor dua di negeri ini.

Belum lagi kita harus mempertimbangkan untuk menaturalisasi calon Menteri Etika, mungkin dari keturunan yang tinggal di Belanda. Sebab, saat ini seluruh rakyat Indonesia turut 'berdosa' telah menjadikannya menduduki jabatan itu, apapun alasannya.

Pertumbuhan ekonomi mungkin akan mencapai 8%, kesejahteraan meningkat, dan kemiskinan berkurang (setidaknya saya kenal beberapa orang yang baru diangkat jadi pejabat, dan saya pastikan mereka 'tidak miskin' lagi karena sudah memiliki pekerjaan baru, yang berarti mengurangi kemiskinan juga, kan?). Infrastruktur dibangun masif di mana-mana, dan pemimpin kita gagah di atas maung atau kuda... Namun, jika kita sebagai bangsa tidak memiliki etika, buat apa?

Salam.

Baca juga :