Kita bukan menangisi syahidnya Yahya Sinwar, tapi menangisi diri sendiri


Sejak detik pertama mendengar kabar gugurnya beliau, Hingga detik tulisan ini diposting, Terus terang saya masih berusaha ikut merasakan kenikmatan yang beliau alami.

Satu demi satu tulisan apapun yang muncul tentang kehidupan serta kematiannya, Saya eja sepenuh hati sembari coba bayangkan berada di posisinya. Bahkan berkali2 saya peragakan gaya duduk dan tidurnya saat para bidadari menjemput.

Gimana ya mendeskripsikan nya... Menjelaskan dengan sederhana sebuah ironi, Betapa ada orang yang sengaja mengejar kematian lalu berbahagia ketika ia nya didapatkan.

Itu rahasia yang hanya dimengerti orang2 beriman dan tidak akan pernah dipahami selainnya.

Bahkan tidak setiap muslim ngerti tentang itu. Banyak dari kita yang malah bingung; Kok ada orang gila yang cari mati terus girang luarbiasa saat kematian itu akhirnya menyapa?. 

Mungkin bagi mayoritas orang, Yang dialami Abu Ibrahim itu merupakan bentuk kematian yang mengenaskan

Jasadnya koyak. Tangannya putus. Dan kepalanya berlubang sebesar bola tenis.

Menyedihkan. Mengerikan. Tak lagi utuh. Dibungkus dalam trashbag alias plastik tempat sampah. Lalu diusung entah ke mana. Dan bisa jadi jasadnya akan hilang tak pernah ditemukan lagi.

Tapi memang begitulah ironi dunia ini. Di mana jalan pikiran orang2 beriman itu berbeda dengan kebanyakan kita.

Ketika umumnya manusia ingin mati tua dikelilingi anak istri sambil mereka tangisi.

Para syuhada itu malah terinspirasi Khalid ibn Walid. Yang sekuat tenaga, Satu persatu, Ia cicipi lebih dari 90 bekas tusukan senjata musuh.

Hanya demi menghindari mati di atas kasur.

Maka seharusnya tak ada tangis maupun kesedihan atas gugurnya mereka.

Mereka telah berbahagia mendapatkan akhir yang selama ini dikejar.

Airmata itu harusnya untuk kita. Yang sedemikian lemahnya, Sehingga untuk menahan mulut dari makanan maupun produk yang mendukung para musuh pun tak mampu.

(Fathi Nasrullah)

Baca juga :