Catatan Made Supriatma:
BEM Fisip Unair membuat karangan bunga satire ini. Tujuannya? Ya satire. Mengungkapkan perasaan mereka terhadap pemerintahan yang baru.
Hasilnya? Pihak kampus membekukan BEM tersebut. Alasannya karena karangan bunga itu tidak beretika.
BEM juga ditanyai apakah ada pengaruh pihak luar dalam pembuatan karangan bunga yang di pasang di taman FISIP UNAIR tersebut.
Saya tidak tahu apa alasan pihak Dekanat FIsip UNAIR mengatakan bahwa karangan bunga ini tidak beretika. Kata-katanya tidak sopan? Bukankah lebih tidak sopan semua rekam jejak yang dimiliki oleh orang-orang yang dikritik oleh karangan bunga ini?
Menghilangkan nyawa orang itu lebih beretika? Melanggar konstitusi dengan bantuan paman dan ayah untuk mendapat kedudukan empuk sebagai wakil presiden itu lebih beretika?
Memberangus kebebasan berpendapat, seperti yang dilakukan Dekanat itu beretika?
Saya bisa menduga, nantinya kalau ditanya apa yang tidak beretika, jawaban pihak berwenang ini pastilah itu karena alasan kultural. Satire itu tidak memenuhi adab dan sopan santun ketimuran.
Penguasa kampus ini, yang anehnya belajar ilmu-ilmu sosial, dengan seenaknya membengkokkan apa yang disebut adab dan sopan santun ketimuran tersebut. Karena apa? Karena hal-hal kultural itu tidak pernah jelas. Mereka bersembunyi di balik kekaburan itu!
Apakah korupsi itu termasuk adab dan sopan santun ketimuran? Jelas tidak. Tapi mengapa korupsi ada dimana-mana?
Apakah menyuruh anak-anak sekolah berbaris di terik matahari berjam-jam hanya untuk “menyambut” pemimpin yang hanya lewat itu sesuatu yang sopan dan beradab?
Apakah lebih mengutamakan proyek dati pejabat ketimbang mengajar itu sopan santun yang beradab?
Dengan membekukan BEM, pihak Dekanat Fisip UNAIR justru sudah melakukan hal yang tidak sopan, tidak santun, dan tidak beradab. Kuping mereka tipis. Karena apa? Nah disinilah menariknya. Kita mungkin bisa menduga bahwa mereka takut. Mungkin.
Tapi apa yang sebenarnya mereka takutkan? Bukankah lebih baik punya mahasiswi/a yang berpikiran terbuka dan kritis ketimbang yang membebek dan adalah Bapak senang walaupun tidak beradab sama sekali?
Sayangnya, ketidakberadaban itulah yang menang. Orang-orang yang malas berpikir lalu menjustifikasinya dengan mengatakan, “Ah, itulah politik! Kita terima apapun hasilnya.”
Sistem hidup berbangsa ini hancur lebur karena orang-orang mendiamkan pelanggaran atas sopan santun dan adab. Mereka bahkan ikut mendistorsikan soal sopan santun dan adab ini untuk mendukung kekuatan yang immoral.
Yang menyedihkan soal-soal seperti ini hidup dan subur di wilayah yang seharusnya menjadi benteng moral penjaga sopan santun dan keadaban.
(*)