Gerbong Militer Prabowo di Istana
Oleh: Aris Santoso
(Pengamat militer, alumnus Ilmu Sejarah FIB, Universitas Indonesia)
Sebagai figur militer terkemuka, tentu Prabowo membawa gerbong sendiri saat di Istana nanti. Tiap presiden selalu memiliki gaya sendiri-sendiri. Sejak masih perwira pertama di Kopassus, Prabowo sudah menjadi bintang media (media darling). Namanya selalu “viral” di tengah zaman yang belum mengenal platform media daring atau media sosial.
Sejak masih aktif sebagai komandan pasukan, Prabowo memiliki gaya tipikal; ia ingin satuan yang dipimpinnya selalu nomor wahid. Prabowo juga dikenal memiliki perhatian pada pembinaan yuniornya, yaitu adik-adik kelasnya di Akmil.
Dengan pembawaan seperti itu, tentu Prabowo akan membawa gerbongnya sendiri, terlepas dari bayang-bayang Jokowi, ataupun figur militer lainnya, seperti Luhut B Panjaitan (Akmil 1970) atau Hendro Priyono (Akmil 1967). Kita tahu pasti, Prabowo sudah menyiapkan orang-orangnya sendiri dengan rapi dan terstruktur.
Prabowo dan Akmil 1993
Dalam karir perwira, ada istilah “garis tangan” bahwa nasib baik ikut menentukan. Dalam era Jokowi (2014-2024), fenomena ini berlaku sepenuhnya pada perwira yang pernah bertugas di Solo. Salah satu yang bisa disebut adalah Letjen Widi Prasetijono (Akmil 1993, Komandan Kodiklatad), yang termasuk perwira dengan model “garis tangan” seperti itu, mengingat dulunya namanya nyaris kurang dikenal. Bila bukan karena faktor Jokowi, sulit membayangkan bahwa Widi suatu saat akan menjadi Danjen Kopassus, berlanjut sebagai Pangdam Diponegoro dan Komandan Kodiklatad.
Selain Widi, dari Akmil 1993, ada juga nama Mayjen Rui Fernando Guedes Palmeiras Duarte (Wakil Rektor Unhan). Rui adalah ajudan Prabowo saat Prabowo menjadi Danjen Kopassus (1995-1998), dan keduanya memiliki kedekatan khusus. Rui adalah putera asli Timor Timur (kini Timor Leste) yang kemudian menjadi anak asuh Prabowo. Begitulah karier seorang perwira; bila dekat dengan kekuasaan, promosi bagi dirinya relatif lebih cepat dibanding rekan segenerasinya.
Bila karier Prabowo berjalan normal, sudah bisa diprediksi bahwa nama Rui akan masuk nominasi menjadi Danjen Kopassus. Setelah Prabowo menjadi Menhan, dia mengonsolidasikan beberapa perwira yang sejak dulu dikenal dekat dengan dirinya, salah satunya adalah Rui tersebut. Selaku Menhan, Prabowo juga telah merekrut sekutu setianya, yakni Letjen (Purn) Johannes Suryo Prabowo (lulusan terbaik Akmil 1976) ke Komite Kebijakan Industri Pertahanan (KKIP). Nama-nama seperti Sjafrie Sjamsudin (Akmil 1974), Chairawan (Akmil 1980), dan J Suryo Prabowo, tentu publik sudah paham bahwa nama-nama tersebut merupakan sekutu Prabowo sejak lama.
Prabowo juga merekrut sejumlah purnawirawan sebagai staf khusus Menhan, termasuk mereka yang sebelumnya dianggap dekat dengan Presiden SBY, seperti Letjen TNI (Purn) Hotmangaradja Pandjaitan (Akmil 1977) dan Laksdya TNI (Purn) Didit Herdiawan (AAL 1984). Tentu yang paling penting adalah Letjen Muhammad Herindra (lulusan terbaik Akmil 1987), yang masih menjabat sebagai Wakil Menhan, dan sekarang akan menjabat Kepala BIN.
Setelah hampir tiga tahun menjadi Menhan, ikhtiar Prabowo untuk mencari keseimbangan boleh dikatakan berjalan mulus. Maksudnya, bagaimana agar rezim Jokowi tidak terlalu didominasi lingkaran Luhut Panjaitan dan Hendro Priyono. Tampaknya Jokowi lebih terkesan pada bagaimana Prabowo mengelola jaringannya di TNI, termasuk membina yunior-yuniornya. Tidak seperti yang lain, yang sekadar endorsement kerabat dekat.
Selain Rui, ada beberapa nama pati lain yang dikenal dekat dengan Prabowo, seperti Letjen Bambang Trisnohadi (lulusan terbaik Akmil 1993, Pangkogabwilhan III) dan Mayjen Ujang Darwis (Dirjen Strathan Kemenhan). Nama-nama seperti Rui, Bambang Trisnohadi, atau Ujang Darwis, mereka adalah lapis kedua (second liner) dari orang dekat Prabowo.
Apa maknanya? Mereka adalah figur yang disiapkan Prabowo untuk mengisi kabinet; bila tidak yang sekarang, setidaknya sebagai cadangan bila sewaktu-waktu terjadi reshuffle kabinet. Bahkan untuk Letjen Bambang Trisnohadi sudah digadang-gadang sebagai KSAD, guna menggantikan Jenderal Maruli Simanjuntak (Akmil 1992).
Dalam pandangan sekilas, Prabowo terkesan memiliki perhatian khusus terhadap Akmil 1993, terutama yang kemudian bergabung di Korps Baret Merah. Ini bisa dihubungkan dengan masa lalu Prabowo saat kembali bertugas di Kopassus menjadi Komandan Grup 3, yang membidangi pendidikan pasukan khusus. Setelah sekitar sembilan tahun bertugas di Kostrad (sebagai Danyon 328 dan Kasbrig 17, periode 1984-1993), Prabowo kembali ke Kopassus untuk memimpin satuan pendidikan. Adalah Prabowo yang langsung menyeleksi perwira-perwira muda dari Akmil 1993 untuk mengikuti Pendidikan Komando angkatan 65 dan 66. Wajar bila kemudian ada kedekatan khusus antara Prabowo dan lulusan Akmil 1993.
Perwira Akmil 1993 yang kemudian bergabung ke Baret Merah, tentu ada yang dianggap lebih dekat pada Jokowi. Selain nama Widi yang sudah disebut di atas, ada juga nama Letjen M Hasan (kini Pangkostrad). Menarik untuk diikuti bagaimana karir keduanya setelah Jokowi lengser nanti, apakah “garis tangan” (baca: nasib baik) masih berpihak pada Widi dan Hasan.
Patronase atau bantuan senior dalam karir militer adalah perkara biasa, khususnya dalam level perwira tinggi. Kedekatan personal antara senior dan yunior sudah terbentuk jauh hari, bahkan ketika sama-sama masih berstatus taruna di Akmil. Kemudian berlanjut ketika bertugas dalam satuan, baik satuan tempur maupun satuan teritorial. Melesatnya karir seorang perwira tidak terlepas dari sentuhan senior atau patronnya.
Kembali meminjam istilah “garis tangan” dalam karir seorang perwira atau politisi, menarik untuk memperhatikan bagaimana nasib Musa Bangun (Akmil 1984) dan Lodewijk F Paulus (Akmil 1981), dua perwira yang sejak tahun 1990-an dikenal dekat Prabowo. Keduanya memiliki saluran sendiri-sendiri untuk bisa dekat dengan Prabowo. Lodewijk ketika menjadi yunior Prabowo di Kopassus, khususnya pada satuan Detasemen 81 (Satgultor-81). Sementara Musa Bangun adalah penerus Prabowo sebagai Komandan Yonif 328/Dirgahayu Kostrad.
Saat masih aktif sebagai perwira, Prabowo memang sempat menjadi Komandan Yonif Linud 328 Kostrad dan Komandan Den-81. Pada dua jabatan inilah branding Prabowo terbentuk. Pada paruh pertama dekade 1990-an itu, Prabowo memiliki semacam privilege untuk menentukan siapa yang akan menjadi Danyon 328, meski dirinya sudah kembali ke Kopassus. Itu sebabnya kita bisa membaca penempatan Musa Bangun sebagai Komandan Yonif 328 (1996-1998) tidak lepas dari sentuhan Prabowo. Wajar bila kemudian Musa Bangun menjadi pendukung Prabowo yang militan sejak Pilpres 2014.
Nama Musa Bangun sempat disebut-sebut akan masuk kabinet Prabowo mendatang, setidaknya sebagai Wakil Menteri atau jabatan yang setara. Sementara nama Lodewijk seolah hilang dari peredaran. Nasib Lodewijk ibarat bunyi pepatah lama, sudah jatuh tertimpa tangga. Menyusul pergantian Ketua Umum Golkar, dari Airlangga Hartarto ke Bahlil Lahaladia, Lodewijk ikut diberhentikan sebagai Sekjen Partai Golkar. Berikutnya, Lodewijk juga gagal menuju ke Senayan (DPR RI) karena tersingkir pada salah satu dapil di Lampung.
Bila Musa Bangun masih ada peluang untuk masuk dalam kabinet, sementara peluang Lodewijk tampaknya tipis. Apakah Prabowo akan melakukan semacam tindakan “penyelamatan” pada Lodewijk? Ini yang menarik kita tunggu. Tindakan penyelamatan oleh patron atau senior bukanlah fenomena baru di militer.
Kita bisa mengingat kembali skenario penyelamatan yang dilakukan Jenderal Feisal Tanjung (Akmil 1961, Panglima ABRI) terhadap Brigjen Agus Wijoyo (Akmil 1970), pada seputaran tahun 1996 atau 1997. Saat menjadi Kasdam II/Sriwijaya, Agus sebenarnya sedang bersiap-siap dipromosikan sebagai Pangdam setempat. Namun tiba-tiba muncul SBY (lulusan terbaik Akmil 1973) sebagai Pangdam II/Sriwijaya, sehingga Agus luput dari posisi tersebut, padahal Agus lebih senior dari SBY.
Kemudian lewat sentuhan Jenderal Feisal Tanjung (Panglima TNI saat itu), karir Agus Wijoyo terselamatkan, dengan ditarik ke Mabes TNI sebagai Asrenum (Asisten Perancangan Umum), sehingga pangkat Agus juga ikut naik menjadi bintang dua. Secara kebetulan, ketiga nama ini (Feisal Tanjung, Agus Wijoyo, dan SBY) pernah menjadi Komandan Brigif Linud 17/Kujang I Kostrad, satuan legendaris di Kostrad, pada periode masing-masing.
Saat tulisan ini disiapkan, penulis mendapat informasi dari perwira sesama lulusan Akmil 1981 (yang tidak dapat disebutkan namanya), bahwa kecil kemungkinan Lodewijk akan diselamatkan Prabowo. Dalam bahasa yang lebih mudah, Lodewijk sudah tidak masuk lagi dalam “radar” Prabowo. Sejak bergabung ke Partai Golkar, Lodewijk masuk dalam lingkaran Luhut B Panjaitan (lulusan terbaik Akmil 1970), menjadikan hubungan Lodewijk dan Prabowo agak menjauh. Sekali lagi kita teringat akan fenomena “garis tangan.”
(Sumber: Inilah)