Di Balik Kasus Zarof Ricar, Pensiunan Pejabat MA "Mafia Kasus" Rp 1 Triliun

Catatan Agustinus Edy Kristianto:

Zarof Ricar (ZR), pensiunan pejabat MA, ditangkap Kejaksaan Agung atas dugaan penerimaan gratifikasi pengurusan kasus senilai Rp920 miliar (CNN Indonesia, 26/10/2024). Di LHKPN per 1 Maret 2022 (saat pensiun), total kekayaan yang dilaporkan jauh lebih kecil: Rp51,4 miliar.

Catatan saya:

1. Pengakuan yang bersangkutan, ia menjadi ‘pengusaha kasus’ sejak 2012. 

Uang dan emas yang ditemukan di rumahnya oleh jaksa adalah hasil dari kegiatan pengurusan perkara selama setidaknya 10 tahun. Tapi, para wartawan hukum senior di seputar Monas tentu tahu siapa ZR ini. Tahun 2005, ia menjabat Kasubdit Kasasi dan Peninjauan Kembali (PK) MA, dan ruangannya sempat digeledah KPK. Ditemukan memo yang diduga terkait pengurusan perkara korupsi dana reboisasi yang melibatkan Probosutedjo dengan nilai lebih dari Rp100 miliar (waktu itu Probo bilang ia habis Rp16 miliar untuk urus kasus: Rp10 miliar di PN dan PT, Rp6 miliar di MA). Bukan hanya ruangan ZR, bahkan ruang Ketua MA saat itu pun ikut digeledah. Saya ingat, waktu itu ada satu anak buah ZR, yang membuat pernyataan ‘legendaris’—sambil mencak-mencak menyalahkan KPK, katanya, “Kalau mau ngusut dari sini dulu, baru ke atas...” Luar biasa pasang badan! Kalau ZR mengaku ‘bimantara’ (bisnis makelar dan perantara) ini baru mulai sejak 2012, lantas yang 2005 ini apa bisa dikategorikan sebagai sebatas kegiatan ‘magang'?

2. Pejabat berharta hampir Rp1 triliun tak lagi mengejutkan saya. 

Tahun 2010, ketika harga emas masih sekitar Rp400 ribuan/gram, seorang pejabat pajak, Bahasyim Asyifi, menjadi terdakwa kasus gratifikasi pengurusan pajak dengan total harta senilai Rp885 miliar yang dikumpulkan selama 2004-2010. Artinya, saat ini (2024), dengan harga emas Rp1,5 juta, jika mau adu banyak-banyakan hasil ‘bimantara,’ kekayaan ZR dari bimantara seharusnya jauh lebih dari Rp1 triliun, minimal sebesar persentase kenaikan harga emas. Dari situ, pelajaran pentingnya adalah: janganlah kita begitu saja percaya LHKPN yang dilaporkan pejabat. Antara yang dilaporkan dan yang ‘disikat’ bisa sangat berbeda. LHKPN mungkin hanya omon-omon.

3. Kenapa sampai tertangkap? 

Apakah karena kehebatan jaksa? Atau karena ada yang buka mulut karena ‘hujan’ tak merata? Apakah karena ada yang lebih kuat dukunnya (klenik itu kunci adalah rahasia umum)? Saya tak tahu pasti, mungkin kombinasi berbagai faktor. Namun, satu hal yang saya amati dari pengalaman 20 tahun dalam corat-coret urusan kasus: sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Salah satu sebabnya, barangkali, uang yang didapat sudah terlalu banyak sehingga bingung sendiri cara menghabiskannya, akhirnya berdampak pada ‘kecerobohan yang tak perlu.’ Salah satu "kecerobohan" ZR, menurut saya, adalah menjadi produser film Sang Pengadil, sebuah proyek idealis antikorupsi yang mungkin sebagai bentuk ‘pesan pertobatannya’ bagi generasi muda: jadilah insan peradilan seperti dalam film ini, bukan seperti saya! Tapi, tidak semua berpikir begitu. Bisa saja ada yang justru muak melihatnya sebagai bentuk kemunafikan ZR sehingga bernafsu ‘menghabisinya’ tepat beberapa saat sebelum hari H peluncuran perdana filmnya.

4. Ini yang mengenaskan: 

Apa pun cerita akhirnya, Dini, pacar Ronald, tak akan hidup lagi. Semoga Tuhan mengampuni dosanya dan memberinya tempat di surga. Sekian banyak skandal peradilan terungkap, namun keadaan tak banyak berubah. Kasus akan dilokalisir, isu akan diredam. MA akan berdalih ZR sudah pensiun sehingga bukan lagi penyelenggara negara, tak ada bukti penerimaan uang oleh hakim kasasi (apalagi ada dissenting opinion di antara majelis), MA hanyalah judex jurist, bukan judex factie, kasasi mengoreksi putusan PN, bukan menguatkan... Putusan Ronald sudah berkekuatan hukum tetap (meski masih bisa PK, namun tak menunda eksekusi), vonisnya hanya lima tahun (tuntutan 12 tahun, PN bebas, kasasi 5 tahun), artinya masih ada peluang ‘proyek’ berikutnya untuk mengurus remisi, pembebasan bersyarat, dan ‘fasilitas pulang-pergi’ di LP.

5. Beberapa orang menuding pandangan saya pesimistis terhadap bangsa ini. 

Mungkin begitu, tapi saya tidak peduli, karena memang demikian kenyataannya. Jika keadilan yang menyangkut nyawa manusia bisa diperjualbelikan, apa lagi yang bisa diharapkan? Ya, hidup akan kembali ‘normal’, nasib korban dilupakan, pejabat tetap menjabat, yang kaya tak mendadak kere... Harga nyawa orang tetap murah di mata hukum. 'Keadilan' bisa dibeli oleh mereka yang banyak duitnya.

Sobat missqueen silakan minggir!

Salam.

Baca juga :